Dalam empat minggu terakhir ini, dengan adanya berbagai kegiatan yang memaksakan saya melakukan perjalanan ke beberapa kota dan melewati berbagai wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, baik melalui jasa kereta api, travel, ataupun sekedar menggunakan kendaraan roda dua.
Sepanjang perjalanan itu, saya memperhatikan setiap sudut kota yang saya lewati dan saya singgahi menjelang perhelatan pesta demokrasi ini. Semuanya dipenuhi oleh pernak pernik kampanye atau alat peraga kampanye (APK) dengan ragam warna, foto, dan caption yang menarik. Namun yang menggugah dan menjadi pusat perhatian saya adalah tentang jumlah APK Jokowi-Maaruf dan APK Prabawo - Sandi di sepanjang jalan dan kota yang saya singgahi.
Sepanjang perjalanan itu saya menghitung kira-kira mana yang lebih banyak baliho, poster, ataupun spanduk antara Paslon 01 dan 02. Terang saja, dari semua kota yang saya lewati, hampir saya tidak menemukan APK Prabowo - Sandi, semuanya dipenuhi oleh APK Jokowi - Maaruf.
Di pusat kota dimana posisi reklame besar dan berbayar pun dikuasai oleh 01, bahkan di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk pun dikuasai oleh 01.
Sepanjang perjalanan dengan menggunakan kereta api baik melewati perkotaan, perbukitan, persawahan, sepanjang itu juga saya melihat APK Paslon 01. Pendeknya secara umum bahwa pulau Jawa yang merupakan orientasi utama pertaruhan politik negeri ini sebagian besarnya dipenuhi oleh APK Paslon 01, dan jika boleh diasumsikan, saya memberikan skala dengan jumlah APK 90 % untuk Paslon 01 berbanding 10 % untuk Paslon 02.
Misalnya, APK yang bertebaran di beberapa kota di Jawa Barat yang merupakan basis Paslon 02 pun dipenuhi oleh APK 01, begitupun di berbagai kota besar lainnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari fenomena itu, saya sesekali merenung sambil melihat ponsel yang ada di genggaman tanganku seraya mengaktifkan imaginasiku dan berkata "apa petahana tidak punya prestasi sehingga dia harus memperkenalkan dirinya semasif dan seagresif ini, atau apa tim 02 kurang agresif, atau memang mereka memiliki strategi lain yang lebih mapan".
Tentu kita bisa mengatakan bahwa "salahnya tim 02 dong yang kurang agresif dan tak mampu menempatkan APK nya di tempat-tempat strategis", namun poin utama yang ingin saya katakan atas fenomena ini adalah bukan siapa yang paling agresif atau tidak, atau bukan siapa yang paling banyak APK yang bertebaran atau tidak, tapi semiotik dari fenomena itu menunjukkan bahwa terjadi "distrust publik" terhadap sang petahana.
Apa arti dari semua ini, bahwa mengkampanyekan diri secara masif itu merupakan tanda kalau diri kita belum terlalu dikenal atau dipercayai oleh publik, sehingga kita mengambil langkah separipurna mungkin untuk mengkampanyekan diri kita kepada publik. Bagi yang belum berkuasa tentu adalah kewajaran jika mereka harus mengkampanyekan dirinya secara masif, agar program mereka diketahui dan dikenal oleh publik, oleh karenanya mereka belum pernah berkuasa dan memiliki keterbatasan sumber daya jika dibandingkan dengan petahana.
Namun yang terjadi ini justru sebaliknya, sang petahana jauh lebih agresif mengkampanyekan dirinya dengan segala kelebihan intstrumen dan sumberdaya yang dimilikinya, belum lagi kita berbicara tentang fenomena kepala daerah yang terang-terangan mendeklarasikan dirinya mendukung petahana, kampanye door to door bagi-bagi sembako seperti yang viral akhir-akhir ini.
Fenomena ini menghantarkan pesan kepada kita bahwa trust publik kepada sang petahana ternyata masih sangat diragukan. Seharusnya sang petahana tak perlu melakukan kampanye melebihi kampanye sang penantang, sebab dia sudah berkuasa, apalagi mereka selalu mengklaim dirinya sebagai pemimpin paling berprestasi dan terbaik yang pernah ada di negeri ini. Jika demikian adanya, itu berarti bahwa prestasi yang diklaim oleh sang petahana selama ini masih belum berada di jiwa publik.
Dari perspektif data, tentu kita masih bisa memperdebatkan setiap kinerja terhadap kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah, karena perihal data adalah perihal metodologi, terlebih setiap kubu memiliki cara tersendiri dalam melakukan "measuring policy", sehingga mereka memiliki masing-masing data yang bisa dipertanggungjawabkan, bahkan antara institusi pemerintah pun terkadang memiliki perberbedaan data.
Namun dalam perspektif "trust", saya menjadi semakin yakin bahwa sang petahana belum bisa "percaya diri" terhadap kinerja yang telah diperbuatnya, hal itu nampak dari respon publik yang terbilang rendah, pada akhirnya sang petahana mengambil langkah begitu agresif mengkampanyekan dirinya, bahkan sampai muncul narasi "perang total" dari kubunya.
"Mengkampanyekan diri secara masif adalah kewajaran yang diatur oleh undang-undang, karena itu adalah stigma bahwa saya ingin dikenal oleh publik, bukan hanya tentang personal pada diri saya, namun dalam ranah politik lebih kepada agar program dan prestasi saya selama ini dikenal oleh publik. Logika sebaliknya adalah memperkenalkan diri secara masif itu menjadi tanda bahwa prestasi yang saya miliki sebelumnya tak mendapat pengakuan dari publik, pada akhirnya saya harus banyak memasang baliho dan poster, agar masyarakat tahu, ini loh saya"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H