Lihat ke Halaman Asli

Heri Purwoko

Words & Images

Bunga Matahari

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lelaki itu membuka sebuah buku lama.Sebuah buku novel. Berdebu. Menguning lembarannya. Ia menemukannya di antara tumpukan koran dan kertas-kertas bekas. Buku itu kemudian diangkat dan dibersihkan dengan tissue basah. Ia alergi debu. Dan agaknya ia sudah tahu betul bagaimana cara menanganinya.

Nama perempuan itu ada di balik sampul buku. Beserta tanda tangan, dan sedikit garis yang membentuk lekuk mulut tersenyum dan mata menyipit. Ah, betapa hal itu makin mengingatkan lelaki itu pada perempuan yang menemaninya setahun dulu. Dibukanya lembaran demi lembaran. Buku yang menarik. Lelaki itu membaca ulang. Detail. Seolah tidak ingin satu katapun yang luput dari inderanya. Tiba-tiba, ia sampai pada lembaran yang terdapat serpihan bunga matahari. Kering. Warna kuningnya tampak kecokelatan. Tapi ia suka. Lalu diam.

Lelaki itu tiba-tiba menangis. Tersedu. Seolah tidak menghiraukan dinginnya angin yang tembus lewat lubang angin di loteng rumahnya. Ia merasa rindu yang teramat sangat. Rindu yang menyesakkan. Matanya terus saja mengeluarkan air mata.

Tidak. Ia tidak ingin kembali ke waktu ia masih bersama perempuan itu, jika itu yang kalian pikirkan. Ia hanya ingin mengenangnya saja, tanpa sekalipun ingin kembali. Ia menyadari betapa bahaya dan beresikonya arti kalimat 'ingin memutar balik waktu'. Lelaki itu mengecup bunga matahari yang dulu pernah diberikannya pada sang perempuan. Ia hanya ingin perempuan itu mau menerimanya dan mengambilnya dari kecupan lelaki itu seketika itu juga.

***

27 Juli 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline