Beberapa hari ini sekolah Dasar seluruh penjuru Nusantara disibukkan dengan pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Pesertanya adalah peserta didik kelas V (lima).
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan nya tidak cukup jauh berbeda. Peserta didik duduk di depan komputer/ laptop/note book yang telah dipasangkan program ANBK, dan menjawab soal-soal literasi dan numerasi dengan waktu yang telah ditentukan. Pertanyan-pertanyaa yang dimunculkan tidak tanggung-tanggung, lumayan panjang, dan membutuhkan penalaran.
Hari ini saya menjadi pengawas ANBK di sekolah yang cukup jauh dari tempat saya tugas. Di sini saya melihat dan lebih mengenal prosesi kegiatan ANBK ini. Setiap sekolah dituntut untuk menaikkan kualitas nya dan aspek penilaiannya adalah salah satunya dari hasil ANBK yang dikerjakan oleh peserta didik kelas V ini.
Dari sekian banyak peserta didik di sekolah tersebut, diambil sampel secara acak oleh penyelanggara ANBK pusat. Hal ini membuat guru-guru kaget karena tidak sedikit kemampuan peserta didiknya di bawah rata-rata, tapi terpilih menjadi peserta ANBK.
Fakta yang menarik juga pihak sekolah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai hasil ANBK yang memuaskan. Peserta ANBK diganti dengan peserta didik yang dianggap mampu menyelesaikan soal tersebut.
Secara tidak langsung, sadar maupun tidak sadar, guru-guru mempertontonkan perilaku manipulatif kepada peserta didiknya sendiri. Sangat miris sekali.
Dalam benak peserta didik, saya menangkap celoteh " kenapa saya menggantikan peserta didik A untuk mengerjakan pertanyaan-pertanyaan ini? ". begitu pun Peserta didik A juga bertanya "kenapa bukan saya yang mengerjakan, padahal saya punya kartu peserta?"
Salah satu alasan guru menggantikan peserta didik itu yakni karena kurang lancar membaca, kurang fokus dan segala bentuk alasan lainnya yang guru ragukan kelada anak tersebut. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi peserta didik itu mendengar ucapan gurunya sendiri, saya hawatirnya anak itu kehilangan kepercayaan dirinya.
Mengutuk dirinya sendiri dan mencoba untuk berdamai dengan segala stigma negarif yang dilekatkan pada diri anak tersebut. Apakah model pendidikan kita hari ini sudah adil kepada segenap anak-anak didik kita?Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H