Lihat ke Halaman Asli

Heri Ismail

Mahasiswa

Digitalisasi Partai Politik dan Dampak Kelembagaannya

Diperbarui: 18 Februari 2024   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pri/

                      matraman, jakarta timur

Pada tema ini saya ingin menguraikan bagaimana Partai Politik di negara-negara  demokrasi, tak terelakan lagi, dihadapkan pada terbukanya peluang sekaligus tantangan yang dihadirkan oleh teknologi digital. Sudah merupakan kelaziman, manakala teknologi digital dimanfaatkan, terutama untuk keperluan kampanye, menarik minat sebanyak mungkin pendukung; atau untuk memenangkan opini tertentu bahkan untuk menyudutkan lawan politik melalui para buzzer dan tentara siber. Di era ini, parpol- parpol semakin merambah jauh dalam pemanfaatan peranti-peranti digital baru, memanfaatkan konsultan politik yang canggih dalam mengutak-atik mahadata-kendati dalam kasus tertentu dipandang tak etis, bahkan dalam kasus Cambridge Analytica Pilpres AS 2016 masuk ke ranah kejahatan. 

Di sisi lain berkembang pengertian partai digital sebagai bentuk baru peng- organisasian khalayak yang memanfaatkan peranti-peranti digital untuk membuat parpol-parpol alternatif. Parpol digital dalam pengertian ini, sepenuhnya berangkat dari inisiatif yang berkembang di ranah komunitas digital-yang memiliki kesamaan pandangan atas ragam isu politik. Mereka berdiskusi lantas bergerak ke dunia nyata, menghadirkan diri sebagai parpol digital, terlepas eksperimen demikian dapat berhasil atau sebaliknya, gagal.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI digital, banyak memunculkan peluang inovasi baru parpol. Ia menghasilkan dampak kelembagaan: parpol ber- peluang sebagai organisasi yang lebih demokratis, kendatipun tak semua kasus menunjukkan hal sedemikian, karena sering tak terelakkan rivalitas faksionallah yang mengemuka. Politik memang dinamis, bukan kumpulan rumus matematika yang hasilnya jelas. Kontestasi kepentingan hal yang abadi. Sehingga, dalam konteks ini, ikhtiar ke arah parpol digital yang ideal, seringkali dinilai bahwa hal semacam itu sekadar fiksional semata- mata. Karenanya, parpol digital menjadi sebatas minimalis saja: yakni parpol yang memanfaatkan teknologi digital untuk keperluan-keperluan strategisnya. Teknologi digital berkaitan dengan peranti-peranti, alat-alat, tetapi yang menentukan dan membuat sebuah sistem berjalan dengan baik, tetap saja para aktivisnya.

Tiga Konteks Parpol Digital

SETIDAKNYA TERDAPAT tiga konteks parpol digital. Yang pertama, sebut saja konteks eksperime  ntatif, di mana parpol-parpol digital hadir dalam kondisi atau menjadi bagian integral dari generasi digital pribumi (native digital) - ketika jagat digital terhubung secara daring dengan peranti peranti teknologinya yang semakin praktis dan dapat dimiliki semua orang Disebut eksperimentatif karena penggagas dan penggeraknya menuangkan gagasan dan isu-isu politiknya dengan sepenuhnya memanfaatkan internet atau media sosial, memperkuat gaungnya, sehingga tercipta pola mobilisasi atau partisipasi digital warganet. Uraian di bawah nanti, banyak merujuk ke pengalaman Eropa - tetapi tidak terjadi di AS atau di tempat lain, terutama dalam hal keberhasilannya. Eksperimen politik melalui parpol-parpol digital banyak yang sukses, kendati tidak sedikit yang gagal. Dalam kontestasi kepolitikan Eropa yang dinamis, dipenuhi isu dan pengelompokan populis Kanan atau Kiri, kehadiran partai-partai digital di Eropa ialah fenomena.

Konteks kedua, parpol digital sebagai digitalisasi kelembagaan kepar- taian. Di sini, kita tetap akan bicara tentang konsep kelembagaan ideal organisasi politik, dan keharusannya beradaptasi dengan jagat digital yang berdaya disrupsi hebat dan tidak bisa disepelekan. Respons- respons digital keorganisasian sesungguhnya tak hanya ber-urusan dengan parpol-parpol, tetapi juga lembaga-lembaga politik atau ketatanegaraan lain di level suprastruktur, seperti pemerintah dan parlemen; maupun infrastruktur, termasuk di dalamnya organisasi-organisasi atau kelompok- kelompok dalam masyarakat. Dalam pengertian digitalisasi kelembagaan, parpol-parpol digital mencerminkan keharusannya melakukan digitalisasi kelembagaan - mengingat dewasa ini tidak mungkin suatu parpol yang sama sekali konvensional-manual. Masalahnya, digitalisasi yang seharusnya berkonsekuensi transparansi dan profesionalitas kinerja lembaga, seringkali terbentur oleh mengemukanya karakter aktor-aktor politik yang tertutup, eksklusif, kurang suka proses demokrasi internal berkembang dengan baik di internal organisasi. Kita bisa menjelaskan fenomena ini dari perspektif oligarki kelembagaan, apakah dalam pengertian Robert Michels, ataukah konsepnya yang lebih baru dari Jeffrey Winters, oligarki sebagai kontestasi para oligark dalam mempertahankan 'pertahanan kekayaan' masing-masing. Inilah yang menyebabkan tema parpol digital dalam pengertian respons kelembagaan secara digital berujung pada pertanyaan yang dilematis jawabannya: apakah digitalisasi kelembagaan politik mampu mendemokratiskan parpol, ataukah sebaliknya?

Konteks ketiga, parpol sebagai pergerakan dan/atau jejaring politik digital (movement-like). Konteks ini terkait dengan konteks pertama, se- kaligus kedua: sebagai organisasi yang membutuhkan dukungan politik luas dari masyarakat/konstituen, melalui jejaring yang dimilikinya, par- tai politik memanfaatkan media sosial, agar disukai. Hubungan antara pergerakan dan parpol merupakan konteks penting untuk memahami bagaimana media digital membentuk kembali partai. Dengan kata lain jejaring yang dihidupkan secara digital membentuk kembali wajah/citra parpol. Pertanyaannya ialah, bagaimana menghidupkan jejaring parpol secara digital, sehingga membuat wajah parpol kembali terbentuk?

Partai Digital: Otomatisasi Aspirasi vs Jebakan Populisme

PAOLO GERBAUDO dalam The Digital Party melukiskan kreativitas para aktivis pergerakan dalam merespons perkembangan jagat digital, berupa pembuatan parpol tandingan. Parpol digital yang dimaksudnya merujuk model organisasi baru yang hadir di sejumlah formasi politik Eropa - seringkali dengan nama aneh dan kekinian. Misalnya, ada Partai Bajak Laut (Pirate Parties) di Eropa Utara; formasi populis sayap kiri Podemos di Spanyol, France Insoumise di Perancis; dan organisasi kampanye Momentum yang mendorong lonjakan popularitas Partai Buruh Corbyn di Inggris. Terlepas perbedaannya, berbagai formasi tersebut menunjukkan kesamaan dalam cara berjanji mewujudkan model politik baru yang didukung teknologi digital: klaim politik yang lebih demokratis, terbuka, langsung, otentik dan transparan. Gerbaudo mengulas fenomena parpol-parpol yang kehadirannya sejak awal memanfaatkan teknologi digital tersebut berikut keterbatasannya. Sekali lagi, parpol digital dalam konteks ini, menggunakan teknologi digital dan dimaksudkan untuk kepentingan idealnya: merancang bentuk-bentuk baru partisipasi politik dan pengambilan keputusan yang demokratis. Mereka yang mendeklarasikannya via internet mengklaim perannya sebagai kampiun "masyarakat digital baru", yang berhadapan dengan "struktur yang berkarat dan rapuh" masyarakat neoliberal yang terlanda krisis, dan "kondisi politiknya usang".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline