Lihat ke Halaman Asli

Dr. Herie Purwanto

TERVERIFIKASI

PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Pemberantasan Korupsi Di tengah Pemotongan Anggaran

Diperbarui: 3 Februari 2025   13:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Kompas.com

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sedang mengejar pertumbuhan ekonomi Indonesia 8%. Namun, hal itu berisiko terdampak kebijakan pemangkasan anggaran belanja pemerintah pusat, sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Alhasil, ia meminta jajaran menteri dan pimpinan lembaga negara lainnya untuk memangkas anggaran belanja tak prioritas senilai Rp 306,69 triliun, dikutip dari cnbcindonesia.

Kebijakan Presiden Prabowo ini, tentu saja akan berdampak atau menimbulkan efek multiplier atau efek domino. Dari literasi para pakar ekonomi, memprediksi, efak tersebut berimbas pada sektor-sektor lainnya, yang selama ini memetik keuntungan dari "hasil kemitraan" dengan jajaran birokrasi dalam mewujudkan target kinerjanya. Ambil contoh riilnya, dengan pengurangan perjalanan dinas, maka jasa perhotelan, restoran akan terdampak signifikan. Karena sudah dipastikan sebuah perjalanan dinas, membutuhkan akomodasi.

Belum lagi, misalnya beberapa mata anggaran yang dinilai "konyol" seperti pengadaan ATK (alat tulis kantor), yang dipangkas hingga 90% atau senilai Rp. 44,4 triliun, sebagaimana diberitakan media.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, jumlah pemotongan anggaran pada APBN 2025 tersebut, menjadi sebuah langkah strategis dalam upaya mengeliminir potensi terjadinya korupsi dalam bentuk penggelembungan anggaran ataupun titik rawan lainnya dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Di tengah kebijakan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia, yang salah satunya program makanan bergizi serta pendidikan, agar lebih bisa dimaksimalkan, menjadi variable signifikan adanya langkah pemotongan guna efisiensi, serta yang penting, menutup celah terjadinya korupsi tadi. Sebuah komitmen kebangsaan yang harus mendapat dukungan bagi seluruh bangsa Indonesia.

Praktek penggelembungan anggaran masih saja dilanggengkan di negeri ini. Padahal, mark up jelas-jelas merupakan modus laten korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pejabat pemerintah sepertinya tidak pernah mau belajar dari kesalahan pengelolaan anggaran masa lalu. Lebih dari 20 tahun silam, Begawam ekonomi Indonesia almarhum Profesor Soemitro Djojohadikusumo sudah mengisyaratkan bahwa sekitar 30% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bocor akibat praktik KKN yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa. Memang, kenyataannya hingga kini kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah masih berpotensi menjadi ladang subur korupsi, kemenkeu.go.id.

"Pengetatan" anggaran, bila dikaitkan dengan proses pemberantasan korupsi menjadi penting. Mengapa? Salah satu variable yang mendukung kinerja pemberantasan korupsi adalah anggaran. Namun bukan berarti anggaran yang besar ekuivalen dengan keberhasilan pemberantasan korupsi.

Atau dibalik, dengan anggaran yang dibatasi memiliki korelasi signifikan bagi pemberantasan korupsi? Toh faktanya, selama ini korupsi masih saja terjadi, meskipun dengan dukungan anggaran yang selama ini digelontorkan dan tertuang dalam APBN tanpa ada pemotongan? Dengan kebijakan Presiden Prabowo, di mana semua Kementerian dan Kelembagaan Negara dipotong anggaran, tidak terkecuali pada aparat penegah hukum yang diberi kewenangan dalam pemberantasan korupsi.

Tentu ini menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum dalam memaksimalkan tugasnya, dengan pengetatan anggaran operasionalnya. Dipastikan, ada trik-trik atau cara mengatasi situasi seperti ini, tanpa harus selalu cemen, menumpukan anggaran untuk sebuah keberhasilan dalam penegakan hukum. Karena sejatinya, kunci dari penegakan hukum adalah integritas pelaksananya.

Dalam situasi apapun, bila integritas sudah menjadi identitas dan jati diri, hambatan-hambatan non teknis bisa diatasi, salah satunya dengan sinergi dan pemanfaatn sumber daya lain. Jadi, anggaran bukan sebagai satu-satunya tools atau alat yang utama.

Bahkan dengan adanya langkah strategis Presiden Prabowo ini menjadi ajang pembuktian, apapun political will pemerintah, sejatinya pejuang anti korupsi tetap harus bisa menunjukan taringnya. Potensi korupsi yang sudah dipersempit, menjadikan aparat penegak hukum bisa lebih fokus pada area lain, bukan masalah pengadaan barang dan jasa, yang disinyalir hampir 80% menyimpan potensi dikorupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline