Heran saja ketika dalam beberapa hari belakangan ini isu agar Kepolisian Negara Republik Indonesia digabungkan kembali dengan TNI (dulu saat gabung-ABRI) atau di bawah Kemendagri. Keheranan tersebut bukan dari substansi "pengembalian" Polri pada dua opsi tadi. Setelah ditelusur, heran juga pada biangnya.
Apa itu? Tiada lain, diduga sebagai bentuk kekecewaan salah satu partai politik atas beberapa kekalahan jago-jagonya di beberapa pilkada serentak. Biasa, kalah dengan mencari kambing hitam, menjadi tradisi yang terpolarisasi dari sikap tidak mau mengakui kemenangan pihak lain. Dengan menuduh, menunjuk hidung orang lain, dan menstigma diri sebagai pihak yang didholimi, di kerjain atau by design agar kalah.
Saat pilpres, yang dijadikan kambing hitam adalah tokoh bangsa (bila disebut, tentulah Pak Jokowi). Saat pilkada, Polri yang jadi obyek sasaran. Dinarasikan Polri telah berpihak dan jauh dari netralitas. Terhadap mereka yang mengkambing hitamkan Polri tersebut, pernahkah terpikirkan beberapa hal berikut ini :
Pertama, bahwa di era yang serba digital, komunikasi begitu canggih mempunyai dampak yang besar bagi sebuah transparansi. Bila ada kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pilkada, di mana dipersepsikan Polri (dianggap sebagai Partai-Coklat) dikerahkan untuk mendukung pasangan calon tertentu, sangat mudah untuk dijadikan bukti. Bila ini dilakukan secara massif, sangat mempermudah pengumpulan bukti-bukti tadi. Bisa melalui media dan memviralkan bentuk-bentuk ketidak netralan tadi.
Negara ini adalah negara hukum, jadi bawa bukti-bukti tadi ke Bawaslu bila atau bukan ranah pidana, dan bila memenuhi unsur pidana laporkan ke pengadilan atau melalui Gakkumdu, yang didalamnya melibatkan unsur Kejaksaan. Masyarakat pasti akan memantau dan mengawasi proses pelaporan ini.
Pendapat saya ini, setidaknya mengamini apa yang disampaikan Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad merespons isu dugaan pengerahan aparat negara di Pilkada Jawa Tengah (Jateng) 2024 untuk memenangkan pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin.
Dia berpandangan bahwa isu tersebut baru dapat dibuktikan jika ada laporan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan kemudian ditindaklanjuti dengan pengusutan. "Jadi saya pikir apa yang disampaikan tadi dan juga kemudian ada di beberapa media, mungkin baru akan bisa dibuktikan apabila kemudian ada laporan ke Bawaslu, ke Gakkumdu," ujar Dasco di Gedung DPR RI, Kamis (28/11/2024), disumberkan dari Kompas.com
Kedua, dampak sakit hati atas "dugaan" point satu tadi, meluas pada tuntutan agar Polri dikembalikan Bersatu dengan TNI atau dibawah Kemendagri. Sebagai sebuah wacana sah-sah saja. Namun, ingat ada landasan filosofi dan empiris yang juga harus dipertimbangkan. Sehingga menjadi wajar bila banyak penolakan dari elemen bangsa yang lain.
Sebagaimana pendapat Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai gagasan penempatan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di bawah Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kementerian Dalam Negeri tidak sesuai dengan semangat reformasi.
"Kalau sekarang ada yang menggagas kembali polisi di bawah TNI, saya kira itu mengkhianati agenda reformasi," kata Komisioner Kompolnas Muhammad Choirul Anam melalui keterangan tertulis pada Senin, 2 Desember 2024. Anam menyinggung Polri dan TNI yang sebelumnya berada di bawah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada masa Orde Baru. Pemisahan kedua instansi, kata Anam, merupakan salah satu amanat reformasi.
Menurut Anam, pemisahan Polri dan TNI merupakan salah satu keberhasilan reformasi. "Salah satu hasil penting dari reformasi adalah pemisahan antara lembaga yang bertanggung jawab atas pertahanan dan lembaga yang mengelola keamanan dalam negeri serta penegakan hukum," ucap dia diberitakan oleh Tempo.co.
Ketiga, studi kepustakaan menyebutkan Konstitusi menyatakan tugas TNI adalah mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara (Pasal 30 ayat (3)), sedangkan Polri adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, dan bertugas untuk melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum (Pasal 30 ayat 4) UUD 1945).
Dengan landasan hukum seperti itu jelas terang benderang kedua lembaga tersebut berada dalam ruang yang berbeda. Penyatuan keduanya, sebagaimana pernah terjadi, dilandasi pada filosofi tersebut yang melahirkan sikap polisi-polisi yang militeristik. B