Ada hal menarik dalam beberapa hari belakangan di internal Komisi pemberantasan Komisi. Beberapa media sudah melaporkan, adanya "keresahan" dalam lembaga anti rasuah tersebut, dampak dari kekalahan KPK pada pra peradilan dalam penetapan tersangka Gubernur Kalimantan Selatan. Diberitakan ada pegawai yang "curhat" di email internal kantor.
Pegawai tersebut menyampaikan keluhannya dengan mengirimkan surat melalui email ke Pimpinan KPK. Menurutnya, kalahnya KPK dari Sahbirin bukan karena keteledoran penyidik, melainkan ada faktor non teknis pada level kebijakan. "Saya yakin hal yang terjadi sesungguhnya atas kekalahan ini bukanlah karena keteledoran teknis atau ketidakprofesionalan penyidik, melainkan ada faktor non teknis pada level kebijakan, dikutip dari tirto.id.
Bila melihat cukilan berita tersebut, seolah permasalahan hanya impact dari Keputusan praperadilan dan akhirnya KPK dinyatakan kalah. Namun, sebagai salah satu orang yang ada dalam internal KPK, serta membaca email tadi serta komentar yang menyertai dari pegawai lainnya, menjadikan sebuah reduksi yang bisa saya tarik, yaitu sebuah fenomena gunung es atas persoalan internal KPK.
Publik sangat memahami, bagaimana kondisi KPK saat ini. Dari 11 lembaga yang disurvei, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menempati posisi tiga terbawah dalam temuan tersebut. KPK berada di atas partai politik dengan tingkat kepercayaan sebesar 51% dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan 58%. KPK ini juga catatan penting karena pernah menjadi lembaga yang kepercayaannya paling tinggi, atau tinggi sekali di antara lembaga penegak hukum lain. Namun, sekarang KPK terjun bebas, hanya menyisakan 61% kepercayaan mengutip Kumparan, (4/10/2024).
Banyak permasalahan yang saling bertautan, ada korelasi dan tidak bisa secara parsial diambil menjadi sebuah kesimpulan mengapa hal tersebut terjadi. Dari masalah integritas (dari pegawai hingga level pimpinan terjebak pada masalah etik, bersinggungan dengan dugaan pidana), hingga masalah bisnis proses dengan persinggungan masalah adanya problem non teknis dalam penyidikan korupsi.
Bangsa ini sangat memahami dan paham bahwa keberadaan KPK sangat identik dengan pengungkapan perkara-perkara korupsi yang kakap, sehingga ketika masalah non tehnis ini muncul, pertanyaannya kemudian adalah : mengapa hal tersebut terjadi? Bukankah masalah non tehnis penyidikan menjadi sesuatu yang "krusial", sebab dengan masalah non teknis tadi, arah penyidikan menjadi keluar jalur out of the track? Atau dengan analog track out?
Bagaimana mungkin bisa terjadi masalah non teknis ini? Adakah kepentingan-kepentingan yang begitu kuat sehingga bisa membelokan proses penyidikan yang sudah sesuai SOP? Atau ada faktor lain yang menyebabkan "kamera menjauh dari obyek tadi? "
Beberapa isu terkait dengan keberlangsungan KPK juga mulai bermunculan. Tema sentral diskusi adalah perlukah KPK dipertahankan atau dibubarkan saja? Atau memberi opsi, KPK tetap ada, namun lebih pada fungsi pencegahan? Atau KPK merger dengan lembaga negara lainnya yang fokus dalam pembenahan tata kelola pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan?
Isu-isu tadi, bukan menjadi tidak bisa menjadi kenyataan, mengingat sudah muncul penguatan dari dua aparat penegak hukum yang diberi kewenangan dalam pemberantasan korupsi, yaitu gencarnya Kejaksaan Agung dalam mengungkap korupsi kakap akhir-akhir ini dan pembentukan Kortastipidkor Polri, yang jelas-jelas membawa misi Polri akan lebih serius dalam memberantas korupsi.
Komisi III DPR berencana memperkuat wewenang yang dimiliki Polri dan Kejaksaan melalui revisi Undang-undangnya. Penguatan Polri dan Kejaksaan ditegaskan bukan bagian dari upaya melemahkan KPK, namun karena situasi Indonesia dalam darurat korupsi. "Bukan dalam rangka pelemahan. Karena tindak pidana korupsi tetap tumbuh liar meski sudah ada KPK," kata Ketua Komisi III DPR Benny K Harman, kepada detikcom, Selasa (17/4/2012), detik.com