Isu tebang pilih dalam penyidikan tindak pidana korupsi, dipastikan akan menyeruak ke publik ketika ada penetapan tersangka baru tokoh yang dikenal di masyarakat atau pejabat publik. Respon ini seolah sudah melekat dan bagai spontanitas dari sejak dulu.
Tebang pilih mengarah pada tindakan pilih-pilih perkara atau tersangka, seperti sengaja dibidik atau ditarget dan mengabaikan pihak-pihak lain yang seharusnya juga bisa dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Dengan tebang pilih ini, seolah konstruksi perkara tidak utuh lagi, karena ada bagian atau fakta-fakta yang diabaikan dan fokus pada obyek atau pihak yang ditarget tadi.
Setidaknya itulah deskripsi atas sebuah perkara yang oleh aparat penegak hukum dipilih-pilih dalam proses hukumnya. Ini mitos atau fakta?
Secara ilmiah, saya belum pernah mendapatkan fakta adanya temuan atau hasil penelitian terkait dengan tebang pilih perkara oleh aparat penegak hukum (APH), dalam konteks perkara korupsi tentunya lembaga yang diberi kewenangan adalah KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang muncul dan menjadi bahan perdebatan ataupun bahan-bahan diskusi, masih berupa asumsi-asumsi.
Bahwa misalnya mantan pejabat A, berafiliasi dengan tokoh B yang oleh publik dipandang sebagai oposan pemerintah, kemudian A ditangkap oleh aparat penegak hukum, dikulik dan kemudian ditemukan fakta ada indikasi ia mensuplai dana untuk kegiatan B beserta tim suksesnya, kemudian akan terbranding dan stigma proses hukum sebagai tebang pilih, ini akan menjadi sebuah pertanyaan yang logis. Walaupun bisa dianalisis sebagai berikut :
Pertama, bila benar ada bentuk kolaborasi antara A dan B, dengan menggunakan fasilitas atau dukungan dana dari A yang ditetapkan sebagai tersangka kepada B, maka kinerja aparat penegak hukum bukan dalam konteks tebang pilih. Pada posisi ini aparat penegak hukum lebih menggunakan konstruksi "skala prioritas.", yaitu membidik perkara-perkara yang the big fish atau kakap.
Kedua, bila A meski oleh publik dikenal ada kolaborasi dengan B yang tokoh opasisi dari pemerintah tadi ternyata setelah dibuktikan oleh aparat pascapenetapan sebagai tersangka tidak menyalurkan bantuan atau dukungan finansial, bisa jadi perbuatan korupsi yang bisa dibuktikan oleh aparat, ia lakukan karena ia merasa butuh figure untuk tempat berlindung. Jauh-jauh hari ia berusaha memprotect diri pada pihak yang bisa "memberikan perlindungan", lebih-lebih bila suatu saat oposisi bisa menjadi penguasa. Tujuannya dekat dengan sang protector tadi akan bisa membuatnya nyaman dan yakin korupsinya akan aman-aman. Ia merasa akan masuk ke zona yang nyaman.
Ketiga, dari sisi aparat penegak hukum sendiri, memosisikan seseorang dengan skala prioritas untuk dijadikan tersangka, tidak dengan serta merta mudah bisa dilakukan. Ingat, untuk memidanakan seseorang, akan melibatkan banyak pintu-pintu lembaga hukum, sebagaimana yang memang berlaku dalam hukum negara kita yaitu melalui Sistem Peradilan Pidana. Dalam sistem ini pintu gerbangnya adalah penyidik, lanjut ke Penuntut Umum, maju ke Pemeriksaan Persidangan dan dalam proses ini melibatkan penasihat hukum. Dari eksternal sistem, akan ada pengawasan dari media sosial. Tidak mudah pembuktian sebuah perkara yang direkayasa dan pembuktiannya lemah.
Namun, pengalaman empiris yang saya dapatkan, tebang pilih perkara lebih pada bagaimana mempriotitaskan penanganan perkara dengan pertimbangan banyaknya perkara yang masuk dari hasil temuan di lapangan (hasil penyelidikan) maupun temua lembaga auditor dan informasi dari masyarakat. Menumpuknya perkara yang masuk ke APH tadi, menjadi semacam bottle neck, urut antri dalam penyelesaiannya (jumlah yang menangani perkara tidak sebanding dengan jumlah perkara yang dilaporkan). Pada titik inilah, skala prioritas ditempuh. Bilapun akhirnya yang "terpilih" tadi merupakan pejabat publik, atau tokoh terkenal di masyarakat, sangat memungkinkan terjadi.
Mungkinkah yang terpilih tadi karena ada pertimbangan-pertimbangan tertentu di luar yang saya sebutkan tadi? Bagi saya, yang utama adalah pada bagaimana pembuktiannya. Sepanjang perkara bisa dibuktikan secara formil dan materiil dan tidak terkontaminasi unsur kriminalisasi serta tetap dalam koridor-proses hukum yang adil - due process of law, dan bukan kontraproduktif atas bottle neck tadi.