Lihat ke Halaman Asli

Dr. Herie Purwanto

TERVERIFIKASI

PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Mengeliminir Hambatan Penanganan Perkara Korupsi

Diperbarui: 8 Oktober 2024   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Kompas Regional

Minggu yang lalu saya berdiskusi kecil dengan salah seorang Ahli Pidana dari Universitas Padjajaran Bandung. Kegiatan ini, saya lakukan setelah tugas saya dalam Fasilitasi Ahli Pidana, yang dilakukan untuk kelengkapan berkas perkara dari Polres Buru Selatan, Maluku tuntas. Ahli Pidana tersebut, Dr. Somawijaya, SH, MH. Tugas fasilitasi ini, salah satunya ditempuh KPK dalam memberikan atensi pada perkara korupsi yang ditangani oleh penyidik di daerah.

Saya menyampaikan kepada Dr. Somawijaya, terkait dengan pengalaman empiris saya sebagai penyidik KPK saat menangani perkara korupsi. Pengalaman tadi berupa "adanya perbedaan-perbedaan" pandangan, prespektif dan penafsiran atas aturan hukum, pola dan metode pendekatan pada obyek tertentu yang menjadi variabel penting dalam pembuktian tindak pidana korupsi. 

Dok Pribadi

Misalnya terkait dengan metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) yang dilakukan oleh auditor, laporan hasil PKKN-nya memicu perbedaan di antara aparat penegak hukum, sehingga menyebabkan "terhambat-nya" perjalanan perkara tiba di meja persidangan. Hakikatnya, sangat disadari bahwa perbedaan-perbedaan tadi menjadi "kewajaran" karena memang sudut pandang yang tidak mungkin bulat dalam memandang sebuah permalahan, terlebih permasalahan terkait dengan masalah hukum. Potensi beda pendapat sepertinya memang harus dijadikan bagian dari proses itu sendiri.

Yang menjadi masalah adalah bila perbedaan pendapat tadi, "by design" oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan intervensi pada aparat penegak hukum. lebih tragis lagi, justru by design tadi inisiatornya justru aparat penegak hukum sendiri. Ini yang membuat perkara yang sebenarnya mudah dalam pembuktian akan berubah menjadi "sulit" dan butuh waktu yang lama. Bahkan, sangat mungkin perkara menjadi beku dan masuk ke kotak. Meski untuk yang demikian, menjadi sebuah bom waktu, yang sewaktu-waktu meledak bila ada pemicunya.

Dok Pribadi

Pemicunya misalnya karena pihak yang menjadi inisiator tadi sudah tidak lagi mempunyai kewenangan ataupun sudah diganti dan perkara lepas dari intervensi.

Untuk itu, diperlukan aparat penegak hukum, khususnya dalam menangani korupsi, yang mempunyai sikap dan karakter progresif. Dengan bersikap progresif, maka hambatan-hambatan yang lebih kepada "apa yang biasanya", bisa diterjang dengan memahami adanya dinamika serta perkembangan hukum yang bersifat dinamis.

" Saya sepakat dengan sikap progresif bagi penegak hukum. " Ungkap Dr. Somawijaya. Misalnya terkait metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) yang diperdebatkan metodenya, tidak harus dijadikan sebagai alat bukti surat (salah satu alat bukti sebagaimana Pasal 184 KUHAP), namun bisa digiring sebagai petunjuk, sehingga hakim-lah yang berwenang untuk menetapkan berapa kerugian negara yang timbul berdasarkan fakta-fakta di persidangan.

Sikap progresif ini, misalnya juga bisa muncul pada saat pembuktian unsur yang didalamnya perlu adanya mens-rea dari pelaku. Sikap batin, tidak hanya berupa perbuatan yang aktif, perbuatan yang pasifpun bisa menjadi pemicu terjadinya tindak pidana. Ini yang kadang menjadi "lahan" perdebatan pemenuhan unsur mens rea.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline