Absolute sentienfia expositore non indiget-sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Demikian saya jadikan kalimat pembuka artikel ini, karena substansi dari pemberantasan korupsi, sejatinya adalah salah satunya mewujudkan makna keadilan. Jadi, dalil yang tidak perlu untuk penjelasan lebih lanjut adalah : bila tanpa korupsi, negeri ini makmur.
Tentu itu tidak terbantahkan dan tidak perlu penjelasan lebih lanjutkan? Bayangkan, sebagaimana dikutip dari Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp238,14 triliun selama 10 tahun terakhir (2013-2022). Tentu angka ini bertambah bila terupadate hingga pertengahan tahun 2024 ini.
Angka sedemikian fantastis tadi, bila utuh nggluntung, maka berapa kilo meter jalan yang terbangun, fasilitas pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya yang menjadi kebutuhan dasar warga negara. Namun, karena ulah dan keserakahan koruptor, dengan memanfaatkan celah hukum yang ada, serta peluang kesempatan yang dimiliki, munculah angka triliunan tadi.
Maka, tersebarnya Aparat Penegak Hukum (APH) yang diberi kewenangan dalam pemberantasan korupsi, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan hingga ke pelosok Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, ditambah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberikan mandat oleh UU no 19 Tahun 2019 untuk melakukan koordinasi dan supervisi pada dua lembaga tadi seperti dream team. Salah satu upaya yang harus dibangun dan terus ditumbuhkembangkan adalah sinergitas, idealnya korupsi sudah bisa terminimalisir. Namun faktanya?Korupsi masih menjadi pekerjaan rumah bagi negeri ini.
Pada sisi lain dalam literatur hukum, sebagaimana diteorikan oleh Lawrence M Fiedman, bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum, tergantung tiga unsur sistem hukum, yaitu struktur (structure of law), substansi hukum (subtance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Penegakan hukum perkara korupsi, tidak lepas dari teori ini. Banyak faktor yang akan saling bertautan, sehingga tidak mudah menunjuk akar di mana kesalahan itu terjadi. Tidak bisa menimpakan hanya pada satu aspek penyebabnya.
Bila ini menjadi sebuah sistem, sebagaimana disebut Lawrence tadi, maka antara satu sub sistem dengan subsistem lainnya saling memiliki keterikatan.
Posisi strategis APH yang tersebar seantero negeri tadi, bila terkondisikan dalam persamaan persepsi dalam langkah akan membuahkan dasar atau pijak yang kuat dalam memberantas korupsi. Maka, menjadi sebuah filosofi yang terimplementasikan, KPK, Kejaksaan dan Polri, yang sudah berada dalam satu rumpun eksekutif menautkan diri pada Memory Of Understanding (MOU) yang dibreakdown dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS).
Salah satu tujuan diadakannya MOU antara KPK, Kejaksaan Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tertuang dalam MOU Nomor : 107 tahun 2021, Nomor 6 Tahun 2021 dan Nomor : NK/17/V/2021 adalah untuk meningkatkan sinergi kerja sama dan kordinasi antara para pihak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ini merupakan langkah strategis, yang seharusnya bukan hanya sebagai sekedar formalitas dan etalase pemanis semata, namun lebih dalam harus terimplementasikan dalam pemberantasan korupsi. Analog sederhananya adalah : dengan bersinerginya tiga APH tadi, akan semakin kuat, kokoh dan kompak menghadapi koruptor, bila dibanding APH secara institusi mengedepankan ego-nya. Ingin tampil sendiri-sendiri, menjadi hero di depan publik. Persepsi egosentris ini harus terkikis. Kepentingan nasional, harus lebih diutamakan. Rumah besar bernama Indonesia membutuhkan kekompakan tugas institusi pemberantas korupsi.