Lihat ke Halaman Asli

Dr. Herie Purwanto

TERVERIFIKASI

PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Menelisik Satgas Penindakan Korsup-KPK RI (1): Urai Benang Kusut

Diperbarui: 25 Juni 2024   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, memberikan tiga peran Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), yaitu Pencegahan, Penindakan dan Pendidikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Salah satu fungsi pencegahan dilaksanakan oleh Kedeputian Kordinasi dan Supervisi. Kedeputian ini, untuk bisa mengoptimalkan tugasnya, menugaskan Satuan Tugas Pencegahan dan Penindakan.

Pada konteks tulisan ini, akan menelisik Satuan Tugas Penindakan. Aktualisasi dari tugas dari Satuan Penindakan Korsup KPK ini, bukan dalam bentuk law enforcement atau penegakan hukum yang berada dalam track Sistem Peradilan Pidana, namun ditekankan pada bagaimana mendorong sinergi dengan Aparat penegak Hukum (APH) maupun dengan Aparat Intern Pengawas Pemerintahan.

Maka fokus utama dari Satuan Tugas Penindakan Korsup KPK ini menyasar pada menjalin sinergitas dalam pemberantasan korupsi dengan stakeholder, termasuk upaya dalam mendorong penyelesaian perkara korupsi oleh Aparat Penegak Hukum lain. 

Bila dalam penanganan perkara korupsi ada hambatan, maka disitulah peran dari Satuan Tugas Penindakan dalam menjembatani, memfasilitasi dan komunikasi, sehingga out putnya adalah perkara bisa dituntaskan. Ibaratnya, mengurai benang kusut dalam penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

Dokpri

Salah satu implementasinya sebagaimana diberitakan detik.com adalah ketika KPK mengambil alih penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi (TPK) pengadaan benih di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perkara itu terjadi di lingkup Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan Kabupaten Malaka tahun anggaran 2018. Sebelumnya perkara ini ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTT.

Jadi, ketika sebuah perkara baik ditangani oleh jajaran Kepolisian maupun Kejaksaan namun terjadi hambatan, maka perkara tersebut akan diambil alih oleh KPK.

Pasal 10 UU Nomor 19 Tahun 2019 menyebutkan : (1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. (2) Pengambilalihan penyidikan dan/atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; e. hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dokpri

Dengan perangkat regulasi seperti ini, sejatinya dalam pemberantasan korupsi tidak ada lagi hambatan. Logika berpikirnya adalah bahwa ketika ada dugaan tindak pidana korupsi ditangani oleh Penyidik Kepolisian, ada hambatan dan tidak terselesaikan sehingga tidak bisa diajukan ke penuntutan, maka ambil alih KPK menjadi solusinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline