Lihat ke Halaman Asli

Dr. Herie Purwanto

TERVERIFIKASI

PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Tersangka Korupsi, Ditahan Dong!

Diperbarui: 19 Desember 2023   08:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: kompas.com

Tanpa harus menyebut perkara mana, artikel ini sejatinya hanya sebuah keresahan tentang bagaimana  asas persamaan di muka hukum bisa dianggap atau diasumsikan hanya  menjadi sebuah lips service dan belum menyentuh urgensi dari resiko penyidik dan atau aparat penegak hukum  atas putusan tidak melakukan penahanan pada tersangka dengan "potensi dan kerawanan" yang besar menjadi hambatan penyelesaian perkara.

Pejabat tenar, pejabat publik, dengan sangkaan melakukan korupsi dan ini menjadi isu serta perhatian publik, bisa-bisanya tidak dilakukan penahanan. Berkas Perkara menggelinding begitu saja, dikirim ke Kejaksaan, tanpa penahanan tersangkanya. Padahal, korupsi sudah ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa, extraordinary crime. Sebuah ambigu atas nama normative atau bagaimana?

Dengan alasan normative dan klasik sebagai bentuk "pertahanan diri" penyidik, dengan merujuk pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan pejabat berwenang menahan dapat menahan tersangka/ terdakwa apabila menurut penilaian di tersangka/ terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti serta dikhawatirkan mengulangi tindak pidana lagi.

Tidak ada yang salah. Benar secara normativ. Namun,  dari 270 Juta warga negara ini, yakinlah, pasti ada yang mempunyai cara pandang yang berbeda dan bahkan dengan telanjang mata, seolah itu sebagai sebuah ketidak adilan. Karena sepengetahuan awam, dan dengan logika hukum,  siapapun tersangka korupsi, karena merupakan kejahatan yang luar biasa tadi, maka cara melawannyapun dengan harus cara tidak biasa. Masak, jelas-jelas ia kakap, ia orang punya duit, punya pengaruh, "dianggap" tidak berpotensi melakukan tiga hal yang disyaratkan dalam pasal 21 ayat (1) tadi?

Menurut prespektif keadilan publik, keadilan yang  substansial, itu sebagai bentuk pengabaian atas asas persamaan di muka hukum. Coba, buat quisioner, buat penelitian, dengan pertanyaan tertutup, setuju atau tidak setuju, tersangka korupsi tidak dilakukan penahanan pada tahap penyidikan? Saya yakin, jawabnya mayoritas akan menjawab tidak setuju. Apa dasanya? Karena logika sehat, logika sederhana, akan menautkan bahwa tersangka korupsi, tidak perlu lagi diberi privilege atau alternative-alternatif yang memudahkannya untuk "berkelit" dari sangkaan-nya tersebut. Langkah ini yang akhirnya, membesarkan nyali seorang koruptor. Ia masih berlindung sebagai "pihak" yang perlu untuk dianggap sebagai tidak bersalah, dijauhkan dari image terdholimi dalam kontruksi asas presumption of innocence-praduga tak bersalah.

Menjadi sebuah kontraproduktif, di satu sisi negara membelakukan asas-asas tadi sebagai penghormatan atas hak asasi seseorang di mata hukum, di satu sisi ia justri menjadikannya tameng perlindungan atas image dan stigma negative yang diperparah dengan privilige dari aparat penegak hukumnya. Sejatinya, ini pangkal masalah, yang harus ditebas dan dihilangkan.

Bolehlah berpijak pada sisi normative, namun pada sisi yang lain keadilan juga perlu disandingkan dengan melihat suara mayoritas, yang jelas-jelas merasa terciderai. Ini yang kadang, menjadikan diskresi terkesampingkan.

Keprihatinan tadi akan berubah menjadi telunjuk menyalahkan tindakan aparat penegak hukum, yang awalnya memberi privilege, namun akhirnya kejadian yang seharusnya sudah diprediksi terjadi, misal tersangka kakap tadi akhirnya melarikan diri, kabur atau berstatus DPO (Daftar Pencarian Orang). Siapa yang akan disalahkan dalam hal ini? Bila ini terjadi, saya mengusulkan aparat penegak hukum yang menangani perkara tadi, harus "diduga" telah lalai dan atau sengaja berkonspirasi dengan tersangka untuk menghambat perkara.

Sebagai sebuah ius constituendum, sah-sah saja disampaikan, dengan harapan ada pembaharuan hukuman di masa mendatang, sehingga aparat penegak hukum tidak ragu-ragu lagi untuk melakukan penahanan kepada siapapun yang sudah memenuhi syarat dilakukan penahanan. Biar syarat subyektif hanya tertuang dalam aturan, namun yang lebih utama dilaksanakan adalah terpenuhinya rasa keadilan dalam masyarakat dalam memandang perlakuan yang sama di muka hukum.

Terlebih, walaupun praperadilan adalah lembaga yang sah untuk menguji secara formil apakah yang sudah dilakukan aparat penegak hukum dalam tahapan proses penyidikan sudah sesuai peraturan perundang-undangan, namun pengajuan pra peradilan menunjukan "perlawanan" dari tersangka. Bila ini dilakukan oleh tersangka yang tidak dilakukan penahanan tadi, lengkap sudah asumsi bahwa meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, masih saja ia menunjukan "kekuatannya" dan secara psikologis ingin "menjatuhkan mental" aparat penegak hukum yang menjadikan dirinya tersangka. Sebuah bentuk show of force, yang semestinya tidak dijadikan nya memeroleh privilege tadi. Jadi, penuhi saja rasa keadilan substantive, jangan terlalu lunak pada tipe tersangka yang demikian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline