Memasuki tahun panas, tahun politik 2024 yang tinggal beberapa bulan lagi, situasi sudah mulai hangat dengan munculnya isu-isu "panas".
Isu panas ini, dikarenakan muncul dari pejabat atau mantan pejabat yang ditujukan pada rezim yang tengah berkuasa. Terlepas, apapun kepentingannya termasuk misalnya untuk kepentingannya politis, namun membuat publik terjengah dan ingin mengetahui bagaimana ending dari isu tersebut. S
alah satunya adalah isu intervensi Presiden Jokowi pada kasus E-KTP yang menjerat Setyo Novanto yang dihembuskan oleh mantan Ketua KPK Agus Rahardjo. Meski Presiden Jokowi sendiri membantah hal ini. Dalam sepekan isu ini menjadi trending.
Saya kutip dari Kompas.com, Presiden Joko Widodo membantah adanya intervensi dalam penanganan kasus E-KTP yang melibatkan eks Ketua DPR RI, Setya Novanto pada 2017 lalu.
Hal ini disampaikan Jokowi menanggapi langkah eks Ketua KPK Agus Rahardjo, yang baru-baru ini mengungkapkan bahwa ia sempat mendapat perintah dari Presiden Jokowi untuk menghentikan kasus Setya Novanto pada 2017.
Presiden menjelaskan, ada tiga hal yang menjadi bukti tidak adanya intervensi pemerintah dalam kasus itu. "Yang pertama coba dilihat, dilihat di berita tahun 2017 di bulan November saya sampaikan saat itu Pak Novanto, Pak Setya Novanto ikuti proses hukum yang ada. Jelas berita itu ada semuanya," ujar Jokowi di Istana Merdeka, Senin (4/11/2023).
"Yang kedua, buktinya proses hukum berjalan. Yang ketiga, Pak Setya Novanto sudah dihukum, divonis dihukum berat 15 tahun," lanjutnya.
Artikel tidak ingin mengulik benar tidaknya isu tersebut, namun klu dari isu tadi yang menarik dan menjadi bahasan, yaitu benarkah KPK bisa diintervensi dalam proses hukum penegakan tindak pidana korupsi?
Prespektifnya adalah yuridis formal, yaitu Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, meskipun dalam konteks isu intervensi pada kasus E-KTP tadi konteksnya KPK masih tunduk pada Undang-Undang yang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002. Namun dengan UU KPK yang barupun itu masih beririsan.
Ihwal bahwa Komisi Pemberantasn Korupsi merupakan lembaga yang "tidak boleh" diintervensi mendasari pada Pasal 3 UU Nomor 19 Tahun 2019. Disebutkan pada Pasal 3 bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Jelas frasa kata independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, menjadikan KPK, meski dalam rumpun eksekutif di mana pimpinan tertinggi di lembaga eksekutif adalah Presiden, tidak bisa diperintah-perintah oleh Presiden.