Acapkali bahkan sering, pada perkara korupsi yang tengah viral dan diduga dilakukan oleh pejabat publik, ataupun non pejabat publik, kita akan disuguhi bagaimana pihak yang terlibat (baik statusnya sebagai saksi maupun tersangka) membantah keras-keras keterlibatan ataupun perbuatan yang disangka-kan kepadanya. Seolah, dengan yakin-nya, ia sajikan deretan kalimat yang membantah itu semua.
Mungkin dengan rangkaian kalimat seperti ini : " Tidak, tidak mungkin saya melakukan itu. " Atau yang seperti ini. " Bagaimana mungkin saya lakukan itu? " Masih ada lagi, misal : " Percayalah, saya hanya didholimi dalam perkara ini, ini fitnah. " Bahkan yang lebih seru : " Akan saya tuntut balik pihak-pihak yang telah mencemarkan nama baik saya. Ini kampanye hitam atas nama baik saya dan keluarga. "
Waduh, sampai bawa-bawa keluarga. Artinya, dengan keseriusan, kalau perlu menyebut siapa begitu, agar menguatkan bantahannya. Biasanya pula, bantahan tersebut ia ucap berulang-ulang ketika pers minta pendapatnya. Semangat untuk pembelaan diri, menjadikan sesaat publik bertanya-tanya, jangan-jangan benar ini orang, kalau begitu penyidiknya dong yang gegabah, salah atau kurang alat bukti?
Pada sisi lain, penyidik dengan penuh keyakinan ketika memberikan keterangan pers, atas progress perkara yang ditangani tadi, sebagai bentuk akuntabilitas pada publik biasanya akan menjawab : " Beri waktu agar penyidik bisa lebih fokus dalam pembuktian. " Atau dengan perkataan lain : " Penyidik tidak gegabah, pasti nanti ketika penetapan tersangka sudah ada 2 minimal alat bukti. Kita bekerja sesuai dengan hukum. "
Benarlah asas hukum mengajarkan : Geen straf zonder schuld-tiada hukum tanpa kesalahan.
Pada titik ini, jelas, pihak yang diduga terlibat perkara berhadap-hadapan atau head to head dengan penyidik. Satu pihak membantah, pihak lain menguatkan sangkaannya. Ini sebuah proses yang wajar dan on the track. Memang begitulah perjalanan sebuah perkara, penuh dengan dinamika. Namun semuanya harus terbingkai pada frame of rule-atau aturan normative, yaitu hukum acara yang berlaku di negeri ini.
Penyidik dalam situasi dan kondisi tertentu, seperti harus mengejar dead line. Kalau tidak memacu waktu, maka akan kontraproduktif atas pemanfaatan momen jeda waktu pihak Calon Tersangka ataupun Tersangka. (Baca : Momen Jeda Menunggu Status Tersangka).
Bagaimana sebenarnya, atau apa yang terjadi ketika penyidik akan menetapkan status seseorang dari saksi menjadi tersangka? Akankah dilakukan pada sebuah forum yang terbuka? Forum tertutup atau forum terbatas? Siapa saja yang mengikuti forum tersebut? Serta apa yang terjadi pada forum, hingga endingnya keluar keputusan penetapan tersangka?
Hukum positif Negara kita tidak mengatur itu semua. Pengaturan hanya terkait dengan harus terpenuhinya minimal 2 (dua) alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam pasal ini ada 5 (lima) alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Bila 2 dari 5 alat bukti ini sudah terpenuhi, maka sah seseorang ditetapkan sebagai tersangka.
Hal ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014, yang menguatkan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
Forum penetapan tersebut biasa disebut dengan gelar perkara atau ekspose perkara yang dihadiri pihak-pihak terkait internal penyidikan, bilapun melibatkan pihak eksternal tiada lain bertujuan untuk menjamin adanya transparansi atau keterbukaan prosesi tadi. Mengapa transparansi diperlukan? Karena, penetapan tersangka, terlebih untuk perkara-perkara yang mendapat atensi publik-biasanya dengan calon tersangka publik figure, akan berujung pada trust pada profesionalisme penyidikan perkara tersebut.