Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian.
ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 -- Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum.
Praktik rasuah yang mengemuka di awal tahun, sekali lagi ibarat fenomena gunung es. Sudah menjadi rahasia umum bahwa akar masalah dari maraknya korupsi kepala daerah salah satunya karena tingginya biaya politik.
Ketika itu, ICW mencatat (2018), mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal yakni, politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying).
Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20 -- 100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode dikutip dari antikorupsi.org
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bagaimana jabatan sebagai seorang Kepala Daerah, sangat berpotensi dan rawan tergelincir dalam gurita korupsi. Karena memang, kewenangan yang besar di miliki seorang Kepala Daerah, dalam pengelolaan keuangan Negara yang dibebankan pada daerah.
Sehingga bila tidak hati-hati selama dalam menjabat, maka potensi untuk menghalalkan segala cara, guna menutup mahar politik dan jual beli suara tadi, menjadi titik rawan bagi Sang Kepala Daerah.
Terkini, satu persatu Kepala Daerah, entah itu Bupati, Walikota maupun Gubernur meninggalkan rumah dinasnya. Selesai sudah pengabdian mereka selama 5 tahun atau 10 tahun bagi yang menjabat dua periode jabatan.
Beragam cara dilakukan saat menunggu detik-detik habisnya masa jabatan mereka tersebut. Selebihnya, apa yang telah mereka perbuat, akan menjadi bagian dari sejarah kepemimpinan mereka.
Apakah berhasil menjalankan program-programnya, biasa saja atau malah meninggalkan jejak permasalahan hukum. Sebab, acapakali, permasalahan hukum ini, dalam konteks abuse of power adalah tindak pidana korupsi, seperti bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.