Lihat ke Halaman Asli

Dr. Herie Purwanto

TERVERIFIKASI

PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Lo? Skripsi dan Korupsi, Apa Hubungannya?

Diperbarui: 31 Agustus 2023   15:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto kompas.com

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode Ke-26 bertajuk "Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi" pada Selasa, 29 Agustus lalu. Dalam acara itu, Kementerian merilis Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023, tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Isi beleid tersebut di antaranya tak lagi mewajibkan mahasiswa S1 untuk membuat skripsi sebagai syarat kelulusan hingga mahasiswa S2-S3 yang juga tak lagi wajib publikasi makalah di jurnal, dikuitp dari Tempo.co

Beragam pendapatpun muncul, bertebaran di media. Ada yang menelan mentah dalam memahami peraturan baru tesebut, salah satunya menafsirkan  seolah tidak ada lagi skripsi untuk S1. Artikel ini tidak mengulik lebih jauh perihal tersebut, namun pada bagaimana skripsi (terlepas masih dijadikan syarat kelulusan S1 pada masing-masing perguruan tinggi atau tidak), menjadi "sesuatu" yang menakutkan bagi mahasiswa, tentunya mahasiswa yang alergi pada dunia tulis menulis. Jujur, banyak cerita-cerita mengenai "susahnya" dalam penyelesaian skripsi, sehingga menjadi momok mahasiswa. Lalu apa kaitannya dengan korupsi?

Saya menautkan skripsi dengan korupsi, karena memang ketertarikan penulisan saya, pada ihwal korupsi. Bagi skripsi yang benar-benar dibuat sendiri, baik dari ide dasar, proposal, penulisan bab per bab hingga akhirnya lolos saat di depan penguji, maka skripsi seperti ini tidak ada hubungannya dengan korupsi. Kelak, mahasiswa yang membuatnya, sangat berpotensi seandaianya bisa bekerja baik di pemerintahan, legislatif maupun swasta, karena tidak biasa berbuat curang, maka ia tidak terbiasa pula untuk melakukan korupsi. (Walaupun, sangat mungkin juga seorang mahasiswa yang saat membuat skripsi benar-benar pure dikerjakan sendiri, namun setelah bekerja, tetap juga masuk ke gurita korupsi).

Kontradiktif dari kondisi di mana bila pada saat proses penyelesaian skripsi dengan cara melibatkan ghost writter, biro jasa ataupun dengan cara-cara curang lainnya, ini menjadi benih-benih dari perilaku korup. Sebagai kilas balik, makna kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni  tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah, dikutip dari aclc.kpk.go.id.

Kausalitasnya adalah, mahasiswa yang sudah terbiasa berbuat curang, tidak jujur dan sebagainya saat menyelesaikan skripsinya, berpotensi lebih besar berbuat curang, tidak jujur pada saat ia bekerja.

Jadi, dari makna dan pengertian sumber kata korupsi, ketidakjujuran, curang dalam proses pembuatan skripsi menjadi bagian dari pengertian korupsi. Nah, pada konteks inilah, maka sejatinya saya berpendapat :

Pertama, dengan adanya peraturan Menteri yang baru, menempatkan kebebasan masing-masing perguruan tinggi dalam menentukan syarat kelulusannya. Bila skripsi masih menjadi satu persyaratan, maka ruh dari pembuatan skripsi jangan sampai menjadi anti tesis dari penulisan skripsi, salah satunya adalah menanamkan nilai-nilai integritas dalam proses pembuatannya, jauh dari perilaku tidak jujur sehingga out pun skripsi yang dihasilkan benar-benar hasil proses pemikiran dan reduksi atas keilmuan yang diperoleh selama proses kuliah. Jangan sampai tetap menjadikan  skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan, namun masih menggunakan pola-pola lama yang justru menyulitkan mahasiswa dan tidak memberi ruang ide kreatif dan keilmuan mahasiswa pada standar baku penulisan. Bisa disesuaikan dengan alur pikir dan ide mahasiswa selama masih dalam batas-batas keilmuan, sehingga bisa diuji melalui metode ilmiah.

Kedua, apabila skripsi tidak menjadi syarat kelulusan, maka sangat penting alternatif pengganti yang tetap memberikan bekal bagi mahasiswa untuk memiliki ketajaman intuisi, menganalisis kemudian memberikan solusi atau rekomendasi atas permasalahan tertentu. Hal ini perlu karena di lapangan pekerjaan masih membutuhkan skill atau kemampuan tersebut. Bisa jadi sistimatika, format atau bentuk tidak seperti skripsi, namun yang terpenting dalam sajian ilmiah, ada fakta, permasalahan yang kemudian dianalisis, solusi dan menjadi sebuah kesimpulan. Jadi tidak baku pada sistimatika skripsi yang berlaku selama ini, namun memberikan kebebasan penuangan ide tadi, secara terukur dalam batas-batas lingkup ilmiah. Bila ini yang dipilih, maka mahasiswa yang menulis, seolah hanya menuangkan ide mengalir begitu saja, penuh kreatifitas. Yang utama adalah kejujuran dalam penuangan gagasan ini, tanpa harus ada limitasi tertentu yang akhirnya membuat kesulitan bagi mahasiswa hingga akhirnya untuk menyelesaikannya lari pada perbuatan curang, tidak jujur dan sebagainya tadi.

Jadi, ada ataupun tidak ada syarat skripsi sebagai kelulusan S1, bila dikaitkan dengan potensi perilaku korup, hipotesanya adalah sebagai berikut : Bila berperilaku baik, jujur dan tidak curang, ada atau tidak ada skripsi, tidak akan menjadi masalah bagi mahasiswa untuk lulus kuliah S1-nya.

Salam Anti Korupsi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline