Praktik politik uang dalam kontestasi politik menjadi lumrah karena sudah membudaya, mempengaruhi sistem politik demokrasi, dan pada akhirnya menjadi sebab politik berbiaya tinggi. Politik uang di Indonesia lebih dikenal sebagai Serangan Fajar. Serangan fajar sendiri dapat diartikan sebagai pemberian uang, barang, jasa atau materi lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang di tahun politik atau saat kampanye menjelang Pemilu, dikutip dari kpk.go.id
Oleh karenanya, dengan semangat untuk bisa membawa negeri ini pada pelaksanaan pemilu yang berkualitas, memilih pemimpin tanpa berbasis biaya yang tinggi, tagline dan gelora Hajar Serangan Fajar dikampanyekan dan disosialisasikan oleh KPK. Sesuatu yang efektif atau sia-siakah? Bisa jadi, pertanyaan ini bisa dijawab dengan fakta-fakta sebagai berikut :
Pertama, masih menjadi anggapan dan persepsi yang "umum" bagi masyarakat menerima atau memperoleh uang, barang atau lainnya yang bisa dikonversi dengan nilai uang, sebagai sesuatu yang wajar atas kompensasi tidak bekerja pada saat hari pemilihan. Pemberian tersebut, dianggap sebagai "pengganti" atas libur mereka. Adalah fakta pada saat pemilihan banyak pekerja non formal, meliburkan diri.
Kedua, momen hari pemilihan bagi masyarakat merupakan hari menunggu pemberian dari para calon. Sangat ironis, bila yang "ditunggu" apakah berupa amplop, beras, bingkisan dan lainnya tadi tidak urung datang, maka langkah enggan atau bahkan menghindari pencoblosan di kotak suara menjadi pilihan. Walaupun ini kasuistis, namun masih menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Kontraproduktif dari hal tersebut, bisa jadi dalam sebuah rumah, karena di datangi oleh lebih dari Tim Sukse calon tertentu, ketika datang dan mencoblos di tempat TPS, semua gambar calon yang telah 'memberi" sesuatu tadi pada mereka, di coblos semua, walau akhirnya menjadi surat suara yang tidak sah. Ketika ditelusuri, mereka yang memilih cara ini dikarenakan "untuk memenuhi" janji pada pemberi. Pokoknya, siapa yang memberi, akan dicoblos. Nah, karena yang memberi misal tiga tim sukses, ya semua dicoblos. Begitulah, fakta yang bisa jadi kasuistis, namun memperihatinkan.
Kedua fakta ini menjadi salah satu variable dari kampanye yang digelorakan oleh KPK untuk memberangus bentuk-bentuk serangan fajar tadi. Namun, dalam kondisi masyarakat yang "masih" didera oleh sikap "mau menerima" dan "menganggap wajar" adanya pemberian dari Tim Sukses, maka sejatinya yang paling efektif dalam menghilangkan budaya serangan fajar adalah dari pihak pemberi itu sendiri.
Siapa pemberi tersebut? Tiada lain Tim Sukses, tim supporting, tim relawan ataupun nama lainnya, bahkan sering dari calon itu sendiri. Kesadaran kolektif pihak ini, tidak mengeluarkan uang atau barang, dengan dalih apapun menjadi sesuatu yang penting dan bisa berkorelasi sebagai salah satu variable terselenggaranya pesta demokrasi yang bersih dari money politic. Harus ada gerakan bersama di pihak ini, sebagai salah satu upaya menghilangkan potensi keinginan untuk mencari atau "mengembalikan" modal dengan cara korupsi setelah duduk di singgasana pemerintahan maupun legislative.
Sudah banyak para legislator ataupun yang duduk di pemerintahan, misal sebagai kepala daerah yang harus berurusan dengan KPK karena kebijakan yang diambil menimbulkan kerugian keuangan negara dan kepadanya disangkakan pasal korupsi. Alasannya pun klasik, ingin mengembalikan modal untuk jabatan yang ia raih tadi.
Bisakah ini terjadi? Meskipun aturan dan regulasi berusaha untuk membatasi gerak-gerik serangan fajar tadi, selama kedua pihak masih belum berada dalam track yang benar, komitmen yang kuat, maka sepertinya gerakan hajar serangan fajar, masih berada di awang-awang serta menjadi sebuah mimpi yang jauh dari dunia nyata.
Ini menjadi tantangan kita semua. Akan kita tolak-kah dua atau tiga amplop yang diberikan salah seorang Tim Sukses bila di sebuah sore datang ke rumah kita? Mungkin, kita akan menolak, bagaimana dengan kebanyakan dari orang-orang di sekitar kita? Inilah fenomena-nya.
Salam Anti Korupsi