Sapu yang digunakan untuk menyapu lantai, tentu harus bersih. Mana mungkin sapu tadi, misalnya masih terkena bekas kotoran got atau baru menyapu halaman, terus digunakan menyapu di lantai dalam rumah. Tentunya menjadi kontraproduktif. Menyapu lantai, tentu menggunakan sapu yang bersih. Ini sudah pemahaman umum dan menjadi analog, ketika aparat penegak hukum (APH) yang diberi kewenangan dalam pemberantasan korupsi menjalankan tugas.
Artinya, ketika APH melaksanakan tugasnya, harus-lah terdiri dari orang-orang yang bersih. Dengan bahasa lain, memberantas korupsi, haruslah orang-orang yang bersih dari masalah korupsi itu sendiri. Ia harus lepas dan tidak terjebak dalam cluster korupsi, sekecil apapun. Karena, terkadang menganggap yang kecil-kecil sebagai remeh dan tidak berkorelasi bagi potensi yang lebih besar. Ini kesalahan mind set dan perlu pelurusan.
Menjadi APH pemberantas korupsi, bukan berarti terdiri dari orang-orang yang sudah tidak butuh uang. Oleh karenanya, Negara sepantasnya dengan layak memberi salary, take home pay yang sepadan juga. Meskipun masalah penghasilan dengan korupsi ini, menjadi debatable. Tidak menjamin dengan penghasilan yang besar, tidak korupsi. Buktinya sudah banyak, APH yang tertangkap, meski penghasilan mereka dikatakan "cukup lumayan besar, " setelah pemerintah dalam beberapa tahun terakhir memberi tunjangan Kinerja.
Jadi, masalahnya kemudian adalah bukan berujung pada besar kecilnya penghasilan, namun ada pada masalah mental. Seberapapun penghasilan, bila mentalnya adalah mental hedon, glamour, seberapapun uang akan terus merasa kurang. Fakta koruptor yang tertangkap KPK, menimbun uang milyaran rupiah untuk pembelian aset yang sebenarnya kurang bermanfaat dan lebih pada pemborosan serta pemenuhan gaya hidup tadi. Punya villa lebih dari satu di berbagai tempat, rumah di berbagai daerah, hamparan tanah berupa sawah, kebun atau lahan untuk real estate, hotel, maupun dicuci dalam bentuk jasa,
Antara pribadi yang satu dengan yang lainnya, tentulah berbeda memandang makna kepuasan dari hidup. Ada yang makan minuman, berpola 4 sehat 5 sempurna sudah cukup. Ada yang harus lebih ditambah snack, makanan pembuka dan penutup dan sebagainya. Tidak bisa diukur dan sifatnya bias. Hal ini juga menjadi analog atas pemenuhan kebutuhan lain, seperti kebutuhan alat komunikasi, alat transportasi, perabotan rumah tangga dan sebagainya.
Jadi dalam konteks APH adalah Pegawai KPK, akankah dibutuhkan profil seperti manusia setengah dewa? Yang sudah selesai dengan urusan diri dan rumahnya, sehingga bekerja dengan perasaan lepas, menjauhi COI (conflict of interest) serta focus dalam pemberantasan korupsi, selayaknya sapu yang bersih yang digunakan mengepel lantai tadi?
Faktanya, sebagai manusia biasa, meskipun harus diakui, salary yang diterima di atas rata-rata Pegawai pemerintah, tetap saja akan menjadi yang berat ketika di tengah tugas ada bisik-bisik, upaya pendekatan, rayuan Gratifikasi dan semacamnya yang menggoyahkan mentalitas tadi. Hanya sikap semborono-lah yang akhirnya menjerumuskan beberapa Pegawai KPK divonis hakim karena penggelapan barang bukti maupun melakukan korupsi. Selebihnya, masih banyak Pegawai KPK yang tetap mempunyai integritas, meski godaan dan iming-iming selalu saja menari-nari di depan mata.
Semua tergantung individu, meskipun berasal dari ragam latar belakang disiplin ilmu dan profesi serta kedinasan, saat proses rekruitmen telah menyeleksi dalam satu kepribadian yang identik, yaitu komitmen dalam pemberantasan korupsi atas dasar sikap integritas tadi. Setidaknya, akan terpatri adagium : accipere quid ut justitiam focias non est team accipere quam exiorquere, menerima sesuatu sebagai imbalan untuk menegakan keadilan lebih condong ke tindakan pemerasan, bukan hadiah.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H