Sebuah percakapan antara seorang pejabat dengan koleganya, di sebuah sore : " Mungkin tidak bisa saya mengabulkan apa yang menjadi keinginanmu. "
" Cobalah dipikir, ini kesempatan, saya sahabatmu. Masak, akan membawamu masuk ke jurang? "
" Betul, kamu memang sahabatku. Namun untuk memenuhi apa yang menjadi keinginanmu, rasanya tidak mungkin. "
" Sesuatu yang gampang dilaksanakan, kamu cukup tanda tangan, nanti biar proposal dan hal teknis lainnya ada yang mengatur semua. Tinggal beres. Percayalah. "
Sang Pejabat memandang wajah sahabatnya. Memandang bukan keraguan, namun kesedihan. Sang Sahabat, yang ia kenal sebagai seorang pekerja keras, kini "sudah jatuh" dengan "menghalalkan segala usaha" untuk meraup kesuksesan. Ia datang mengajak untuk ikut membantu lolosnya proposal sebuah proyek, yang sudah ia skenariokan sedemikian rupa, meski harus dengan memanipulasi beberapa fakta. Sang Pejabatpun menggeleng, yang disambut dengan kekecewaan Sang Sahabatnya.
Itu sebuah ilustrasi yang menjadi substansi dari judul artikel saya kali ini. Dalam filosofi Jawa, sangat terkenal ungkapan "urip iku urup " yang mempunyai makna hakikatnya manusia hidup bukan semata-mata untuk dirinya sendiri, akan tetapi manusia lahir untuk saling memberi, saling menolong sesama tanpa rasa pamrih, iklas dan penuh kesadaran.
Sebuah tatanan yang penuh idealism, dimana kehidupan bukan untuk lingkup diri sendiri, menjadikan diri bagian dari orang lain, yang memiliki keperdulian serta menanamkan sifat welas asih, sehingga bisa memberikan manfaat. Ibaratnya, menjadi sebuah lilin, yang rela untuk menerangi sekitarnya, meskipun dirinya harus leleh dan musnah. Meski untuk tataran yang seperti ini, menjadi sebuah kemustahilan, dimana semangat untuk memberikan manfaat bagi sesama, sampai mengorbankan diri jiwa dan raganya. Sebagai sebuah cerminan, bolehlah dijadikan sebuah analog.
Urip Iku Urup, hidup itu, terlebih bagai mereka yang mempunyai jabatan, mempunyai kewenangan, sangatlah diharapkan bisa memberikan warna untuk terciptanya sebuah kemaslahatan. Bukan sebaliknya, dengan kewenangan dan jabatan, ia gunakan untuk menyenangkan dirinya, bahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hasrat keduniawannya. Seolah, menjadi bridging dalam mengaktualisasikan diri untuk lebih mendapat penghormatan sosial.
Dalam konteks sempitnya pemikiran yang seperti ini, seolah mengukuhkan pembenar atas pendapat yang disampaikan Thomas Hobbes, yang melihat tindak pidana korupsi sebagai persoalan biasa, bukan kejahatan. Menurut filosofi ini, tindak pidana korupsi merupakan sesuatu yang alamiah sifatnya. Tindak pidana korupsi berkaitan erat dengan karakter hakiki dalam diri manusia itu sendiri, dikutip dari google.com.
Tentu banyak yang tidak sependapat atas pemikiran yang seolah "membela" dan "membenarkan perbuatan korup". Walau substansinya lebih pada memasukan korupsi sebagai sebuah persoalan atas konsekuensi dari proses sosial dalam masyarakat itu sendiri.