Lihat ke Halaman Asli

Dr. Herie Purwanto

TERVERIFIKASI

PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Rakyat Bayar Pajak untuk KPK, Jangan Khianati

Diperbarui: 10 April 2023   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Kompas.com

Ada sebuah tetes embun yang terasa menyegarkan dan menyemangati pegawai KPK di Senin pagi ini. Tetesan embun yang merupakan analog dari rangkaian kalimat yang terlontar saat apel pagi bagi pegawai KPK yang dilaksanakan di Gedung Juang, Gedung Merah Putih, Setiabudi, Jakarta Selatan. Peserta apel yang mengenakan baju hitam putih dengan dasi bagi pria dan syal berwarna merah, seolah terlecut motivasi untuk tetap kekeuh melaksanakan tugas pemberantasan korupsi.

Terpaan peristiwa yang tengah terjadi di Lembaga KPK, menjadi sesuatu yang tidak bisa dinafikan. Ekspose media yang bertubi-tubi menyoroti masalah "mutasi Direktur penyelidikan KPK" beserta bunga rampai yang menyertainya, menjadi sebuah dinamika yang tidak kuasa untuk dihindari sebagai bentuk era informasi, yang memudahkan media mengup load berita mengenai hal tersebut berikut pendapat-pendapat yang ikut memberi bumbu penyedapnya.

Kalimat yang menetes bagai embun tadi adalah ajakan dan "improvisasi" dari sebuah introspeksi diri dari perjalanan anak manusia yang tengah bekerja di KPK. Substansinya Direktur Penyidikan yang sekarang juga merangkap sebagai Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Brigjen Polisi Asep Guntur Rahayu, tersebut adalah "pengingatan" akan makna dari bekerja keras untuk KPK. Menggunakan bahasa yang lain, apa yang sudah diperoleh para pegawai KPK dalam bentuk salary setiap bulan, harus sebanding dengan pengeluaran uang oleh rakyat dalam membayar pajak. KPK bisa operasional, karena kesadaran dan kepatuhan rakyat dalam membayar pajark. Sehingga, membawa sebuah konsekuensi tanggung jawab dan beban moral untuk bisa memberikan feed back berupa kerja dan kerja tadi.

Bila mengingat substansi bahwa sumber pembiayaan dari para pegawai, tidak hanya pegawai KPK, maka sangat wajar dan menjadi sebuah keharusan serta kesadaran pribadi untuk bekerja dengan baik, profesional serta bisa menjaga marwah lembaga guna mewujudkan apa yang menjadi amanah rakyat. Dalam konteks KPK, adalah amanah dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Bukan sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan, tanpa adanya kesadaran akan hakikat bahwa segala sesuatu menimbulkan konsekuensi hak dan kewajiban. Salary sebagai hak dan  kewajiban menjalankan amanah secara profesional harus tegak lurus, sebidang dan tidak bersilangan.

Hal yang menjadi kontraproduktif adalah ketika dalam perjalanannya, ada kepentingan-kepentingan tertentu (Conflict of interest) sehingga mengiris-iris skema profesionalisme tadi. Sangat rentan dan terbuka kemudahan bagi pegawai KPK untuk terbawa arus ini, karena memang peluang selalu terbuka. Ranah KPK adalah ranah yang strategis untuk menstigmakan seseorang dari yang putih menjadi hitam, dari yang baik-baik menjadi jatuh ke titik terendah citra seseorang, tatkala sudah berurusan dengan KPK dan terbukti adanya keterlibatan pada perkara korupsi yang tadinya masih latent.

Memang tidak asal KPK menjudge seseorang sebagai tersangka korupsi, namun sangat dipahami oleh umum sangat tipis bedanya ketika seseorang masuk dalam pusaran perkara korupsi, awalnya sebagai saksi, berkembang menjadi tersangka ketika pada dirinya kedapatan minimal 2 alat bukti yang sah. Pasal turut serta atau penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 KUHP ayat (1) ke-1 menyebutkan : " dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana adalah mereka yang melakukan, yang  menyuruh melakukan dan turut serta melakukan. "

Pasal tersebut, secara substansi bisa menjadikan seseorang ditetapkan sebagai tersangka, tanpa harus ia menikmati hasil korupsi yang bisa menambah pundi-pundi kekayaannya. Dalam pemahaman seperti ini, sangat mungkin pejabat publik, yang dikenal bersih, tidak menikmati hasil korupsi, namun melakukan sesuatu perbuatan sebagai kesatuan terjadinya suatu tindak pidana korupsi, masuklah ia dalam "turut serta" melakukan korupsi tersebut. Tentu saja dengan mempertimbangkan antara means rea dan actuus reus-nya. Pada titik inilah, acapkali terjadi tarik ulur, kepada kepentingan tertentu atau pada kepentingan murni penegakan hukum?

Bila arahnya adalah untuk kepentingan tertentu, terjadilah perangkap abuse of power. Bila sudah demikian, secara pandangan mata "akan memperoleh keuntungan", namun sejatinya secara kasat mata dan pasti akan terjadi, ia dipastikan akan mendapatkan kerugian (Cujus est commodum, ejus debet esse  inc ommodum). Tentu sangat tidak diharapkan yang seperti ini. Karena sudah seharusnya, kepentingan yang murni dalam penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi, menjadi sebuah amanah yang harus dilaksanakan.

Jangan sampai rupiah yang terbayarkan dari jerih payah rakyat membayar pajak, berbuah pengkhianatan.

Salam Anti Korupsi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline