Lihat ke Halaman Asli

Dr. Herie Purwanto

TERVERIFIKASI

PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Tarwih di Hadapan Replika Kiswah

Diperbarui: 4 April 2023   13:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Foto Dokumen Pribadi

Pada malam ketiga belas solat tawarih Ramadan tadi malam, alhamdulilah saya bisa bergabung di antara jamaah sholat tarawih di Masjid Jami Tangkuban Perahu, Guntur, Setiabudi Jakarta Selatan. Sebagaimana pelaksanaan solat tarawih pada umumnya, dilaksanakan setelah melaksanaan solat isya berjamaah. Imam solat tarawih dipilih seorang hafiz Alquran. Kemerduan bacaan dan begitu tartil, sangat terdengar melalui sound Masjid yang bening dan jernih.

Hal istimewa dan menarik perhatian saya di masjid tersebut adalah adanya bentangan kiswah yang merupakan replikasi kiswah atau kain penutup kabah di Masjid Haram. Sehingga, suasana seperti itu setidaknya lebih membantu kekhusukan pelaksanaan ibadah solat. Seolah, menempatkan diri di depan kabah. Masya Alloh. Ukuran kiswah tersebut, menurut perkiraan saya, tidak beda jauh dengan aslinya, hanya saja, diambil pada salah satu bagiannya. Dikutip dari bpkh.go.id, kiswah dihiasi oleh kaligrafi ayat-ayat suci Alquran, terutama surat Al Iklah, serta kalimat Allahu Akbar dan syahadat.

Dokpri

Bisa jadi, solat dihadapan replika kiswah, mengingatkan kebaradaan Kabah. Bagi yang pernah umroh atau haji, tentu hal tersebut meneguhkan memori saat berada di tengah-tengah masjidi Haram. Namun bagi yang belum berkesempatan, tentu hal tersebut bisa menjadi media kerinduan dan menebalkan kekhusyukan dalam berdoa, agar diberikan kemudahan benar-benar berada di Masjidil Haram.

Solat Tarwih yang menjadi bagian dari ibadah puasa ramadan, memberikan hikmah pada manusia untuk bisa membagi waktu. Siang hari melaksanakan aktifitas, bekerja dengan melaksanakan puasa, malam hari-nya, tetap menyisikan waktu untuk beribadah. Sebelum akhirnya menutup dengan tadarus atau lanjut istirahat malam, menjemput ujung malam untuk bangun sahur.

Sebuah perjalanan anak manusia, untuk menyisikan 30 hari penuh dengan pujian asmaul husna, memperbanyak sedekah, solat sunnah hingga tadarus dan mentadaburi Al Quran. 365 hari dalam setahun, menjadi sebuah katamakan pribadi manakala, tidak bisa mengistimewakan yang 30 hari di bulan ramadan. 

Dokpri

Sangat mungkin, ketamakan dan kerakusan membuat 365 hari seolah-olah tidak cukup dan merasa sayang bila ada 1 hari saja yang terlewati, apalagi 30 hari. Tiada lain, seolah waktu adalah uang. Menganggap fokus pada 30 hari di ramadan sebagai kesia-siaan dan merugi, menjadi sebuah dogma yang sesat dan keliru. Kembali pada fitroh dan hakikat manusia. Bukankah sejatinya manusia hadir di dunia ini dengan satu tugas untuk beribadah pada Alloh? Manusia bukan dihadirkan di dunia ini untuk menumpuk harta dan membawanya sebagai bekal pascakehidupannya berakhir?

Dalam kemerduan bacaan Sang Iman solat Tarwih di Masjid Tangkuban Perahu, hati ini bagai luruh dalam siraman rohani yang mendalam. Menyeruak rasa iklas dan syukur atas karunia dan nikmat-Nya yang tiada terhitung. Setiap helaan nafas ini, adalah nikmat tadi yang tidak mungkin tergantikan secara materi. Inilah kata hati yang paling dalam dan ingi ditumah ruahkan dalam diri yang berderet dalam saf solat tarawih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline