Ketika penetapan tersangka Mohammad Hasya Athallah Saputra, mahasiswa UI yang tewas akibat kecelakaan dengan salah seorang Purnawirawan Polri menimbulkan pertanyaan.
Banyak yang berpihak kepada Hasya, seperti dikutip dari tempo.co, ada pula yang membenarkan penetapan tersebut.
Ada beberapa perkara yang menyentuh hati nurani kita. Seseorang sudah meninggal dunia, harus menanggung status tersangka. Dengan perkataan lain, ia menjadi Tersangka, setelah jasad berpisah dengan raganya.
Tidak adakah solusinya sehingga keluarga yang ditinggalkan acapkali merasa keberatan dan menganggap hal tersebut jauh dari empati. Bukankah meninggalnya seseorang menjadi sebuah kedukaan?
Di tengah kedukaan, dibutuhkan rasa empati, sebagaimana yang dialami keluarga Mohammad Hasya dalam prolog artikel ini.
Pada sisi lain, proses hukum mengenal perlunya sebuah "kepastian", sehingga terkadang dan ini yang terjadi, demi mengejar kepastian hukum tersebut, mengabaikan asas manfaat dan tujuan hukum itu sendiri.
Bukankah hukum dibentuk untuk kebaikan, kesejahteraan, rasa aman, rasa penuh penghargaan, maupun penghormatan atas hak-hak orang lain?
Mengutip pendapat pakar hukum Satjipto Rahardjo, fungsi hukum ada tiga, yaitu pembuatan norma, penyelesaian sengketa, dan menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat.
Dengan pijakan tiga fungsi tersebut, sudah sepantasnya, ketika seseorang terlibat dalam sebuah perkara, dan dalam proses perkara tersebut, ia tidak tuntas dalam penyelesaiannya karena ia harus menghadap Tuhan.
Maka cara-cara yang bijak harus ditemukan untuk penyelesainnya. Tidak sekedar memenuhi aspek formal-normative, menjustifikasi pemenuhan unsur sehingga kepadanya disandangkan status tersangka.