Culpa Poena Par Esto (Hukuman Untuk Rirchard Eliezer)
Culpa Poena Par Esto, hukuman harus setimpal dengan kejahatannya.
Adagium universal dalam penegakan hukum ini menjadi relevan pada konteks pascatuntutan 12 tahun kepada Bharada Richard Eliezer yang didakwa sebagai eksekutor atas tewasnya koleganya sendiri di jajaran "ajudan" Ferdy Sambo. Pantaskah Sang Bharada dituntut lebih ditinggi dari pelaku lainnya yang didakwa bersama-sama melakukan "pembunuhan-berencana" tersebut? Kejagung sudah mengklarifikasi, tuntutan tersebut sudah pas untuk Sang Bharada. Namun publik menyuarakan hal yang berbeda. Dakwaan 12 tahun penjara tidak layak, dengan alasan :
Pertama, Sang Bharada sudah terbuka dan jujur atas apa yang ia lakukan kepada Almarhum Yosua. Ia-lah penembak rekannya tersebut. Sehingga yang muncul kemudian rasa sesal dan permintaan maaf kepada keluarga. Keluarga almarhum Yosuapun sudah memaafkannya. Walaupun bukan sebagai faktor yang bisa menghapus pidana, namun setidaknya pemberian maaf dari orang tua dan keluarga besar Yosua. bisa menjadi faktor yang meringankan Sang Bharada.
Kedua, sangat dipahami, bagaimana kondisi saat perintah "hajar" dari Ferdy Sambo yang merupakan Sang Jenderal, kepada Sang Bharada yang merupakan pangkat terendah di Polri. Di persidangan Sang Bharada sudah menyampaikan pada Majelis, bagaimana ia dalam posisi yang "tidak bisa menolak" perintah Jenderal. Walaupun tersangka lain RR, menolak karena merasa dirinya tidak kuat mental untuk menembak Yosua. Apakah ini yang menjadi "penguat" bahwa posisi Sang Bharada-pun sebenarnya bisa untuk memilih untuk menolak? Kenapa tidak ia lakukan?
Berbeda dengan RR yang langsung menolak, Sang Bharada seakan tidak ada kemauan mengikuti RR untuk menolak? Dalam kondisi seperti ini sikap mental seseorang berbeda-beda. Dan ujungnya, pilihan untuk siap melaksanakan eksekusi, menjadi sebuah penyesalan yang tiada guna lagi.
Upaya pembelaan baik dari kuasa hukum maupun LPSK yang mengaitkan posisi Sang Bharada sebagai Justice Collaborator merujuk pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa tersangka kasus pidana dapat diringankan hukumannya apabila memberikan kesaksian.
Mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011, justice collaborator merupakan salah satu pelaku dari tindak pidana yang mengakui kejahatannya. Tapi bukan pelaku utama yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan.
Namun, bila ditelaah lebih dalam, frasa " bukan pelaku utama", apakah ini tidak disandang oleh Sang Bharada? Ia mengakui sebagai eksekutor, berarti ia "terlibat langsung" dalam hilangnya nyawa Yosua. Lagian, sebagaimana dikutip dari pernyataan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, status Justice Collaborator dalam pembunuhan berencana tidak diatur dalam Pasal 28 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam aturan itu, perlindungan saksi dan korban hanya untuk korupsi, terorisme hingga tindak pidana pencucian uang.
Ketiga, "adanya kesempatan" bagi Sang Bharada untuk "menolak" perintah yang bukan perintah kedinasan, meskipun selalu Sang Bharada berdalih "merasa dirinya pangkat terendah" dan tidak kuasa "pada Jenderal", yang ia ibaratkan sebagai langit dan bumi tersebut. tidak serta merta memosisikan diri Sang Bharada untuk lepas dari tuntutan hukum.
Dalam literatur hukum pidana, disebutkan 2 alasan penghapus pidana yaitu alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang tersebut dan alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar dari diri orang tersebut.