Andi seorang pekerja kantoran. Ia dalam sebulan ini diam-diam melakukan suatu perbuatan yang sebenarnya ia tidak menyukainya. Perbuatan tersebut, berupa "sedikit tipu-tipu" dalam menjual produk perusahaan pada konsumennya. Karena perbuatannya ini ia mendapat bonus yang tidak seperti biasanya. Dua jam setelah menerima bonus di akhir pekan, Andi mengendarai sepeda motornya. Pada sebuah kelokan jalan, ia terdadak dan jatuh. Motor rusak, iapun harus dirawat di RS dan opname.
Ada tindakan medis juga yang harus dilakukan menyebabkan ada ekses atau biaya tambahan. Setelah sembuh dan bekerja, Andi sempat instrospeksi diri, "apa yang terjadi pada saya, ibarat dapat duit setan di pangan Jin. " Guman dalam hatinya. Ini ia yakini, karena memang bersinggungan dengan nilai-nilai relegi yang ia anut. Konsep relegi ini juga sejurus dengan pesan leluhurnya : Cari rejeki yang benar, agar memberi keberkahan dan manfaat bagi hidupmu. Begitulah.
Duit Setan Dipangan Jin dalam bahasa Indonesianya berarti Uang Setan Dimakan Jin. Merupakan sebuah anekdot popular yang kurang lebih bermakna sosiologis, khususnya masyarakat di Jawa, adalah titik keberkahan dalam mencari rejeki.
Ketika seseorang bekerja dengan gelap mata, tanpa mengindahkan nilai-nilai agama, nilai hukum, nilai lain dalam peradaban, atau dengan bahasa singkatnya : dengan segala cara mencari uang, maka uang hasilnya dianekdotkan tadi. Sebab, acapkali, uang hasil tadi dengan mudah di dapat, dengan mudah pula habisnya, untuk sebuah konsumsi atau pengeluaran yang tiba-tiba dan kadang irrasional.
Contohnya ketika seseorang bekerja dengan "segala cara" tadi, selesai menerima uang, tahu-tahu ada saja pengeluaran yang tiba-tiba, tanpa ada sinyal, rambu-rambu atau semacamnya, yang mengharuskan uang tadi segera dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan tiba-tiba tadi. Bahkan, nilai pengeluaran bisa melebihi hasil tadi.
Maka, dalam kelompok masyarakat tertentu, yang lekat dengan anekdot tadi bercelutuk : Itulah, uang setan dimakan Jin. Tidak berkah, mudah habisnya, tanpa bekas, tanpa jejak, yang kadang siapapun yang mengalami akan keheranan sendiri.
Ada yang percaya dengan anekdot tadi, ada juga yang tidak perduli.
Dalam literasi ekonomi makro, dikutip dari wikipidea, sefaham dengan anekdot tersebut adalah ripple effect atau efek riak, yang terjadi ketika gangguan awal pada sistem menyebar ke luar untuk mengganggu bagian sistem yang semakin besar, seperti riak yang meluas melintasi air ketika sebuah benda dijatuhkan ke dalamnya. Artinya, ada efek atas satu perbuatan dengan kejadian lainnya.
Samakah dengan adanya pemahaman hukum alam? Siapa menanam, ia menuai. Siapa berbuat baik, kebaikan pula akan didapat. Siapa culas, kemalangan ia dapatkan.
Saya sendiri berada pada posisi, untuk menempatkan "penganut" anekdot tadi. Bukan masalah ilmiah atau tidak ilmiah, jauh dari pemikiran modern, namun titik keberkahan dari rejeki yang kita terima, sangat logis bila memang diperoleh dengan jalur yang semestinya. Sesuatu yang diperoleh dengan mudah, bukankah dengan mudah pula akan cepat hilang? Begitu kira-kira. Silakan bila ada pendapat, selalu ada ruang kita untuk berbagi, berdiskusi dan semua bertujuan untuk memantapkan hati dalam mengarungi kehidupan dalam sebuah keberkahan.