Due process of law
Ada rangkaian kalimat yang sangat menarik keluar dari Kabareskrim, Komjen Pol Drs. Agus Andrianto, SH, MH di Aula Bareskrim lantai 9, tanggal 2 Januari kemaren. Pada saat acara upacara kenaikan pangkat bagi personil Bareskrim, disinggung bagaimana pentingnya menjaga amanah sebagai penegak hukum.
Kabareskrim menyinggung, bagaimana seorang penegak hukum harus selalu berkaca pada diri sendiri saat melaksanakan tugasnya. Ketika ada perkara di masyarakat, kemudian para pihak sudah ada penyelesaian dan sudah memperoleh keadilan, maka tidak perlu lagi untuk diteruskan perkara-nya oleh penyidik. Prinsip restorative justice, bisa dilaksanakan. Dengan catatan, tanpa perlu ada "embel-embel." Frasa kata yang terakhir ini, tentu berkaitan dengan masalah "ucapan-terima kasih".
Perlakukan masyarakat, seolah memperlakukan diri sendiri. Tanya pada diri sendiri, apabila diperlakukan tidak pada tempatnya, tentu tidak suka. Dengan skema introspeksi diri seperti itu, maka dalam menjalankan amanah berupa menjalankan kewenangan dalam penegakan hukum bisa berjalan pada track-nya. Sudah tidak saatnya lagi, dalam menjalankan law enforcement, dilakukan beriringan dengan adanya "pelanggaran hukum", lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua.
Harapan Kabareskrim pada jajarannya tersebut, seperti klise dan sudah dari dulu "tersosialisasikan." Namun faktanya, masih saja terjadi penyimpangan yang menjadi sebuah fenomena memprihatinkan. Semangat untuk menegakan keadilan, tanpa harus ada yang menjadi korban kesewenang-wenangan, sudah seharusnya dirasakan masyarakat. Ingat, accipere quid ut justitiam focies non est team accipere quam exiorquere (menerima sesuatu sebagai imbalan untuk menegakan keadilan lebih condong ke tindakan pemerasan, bukan hadiah).
Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam beberapa kesempatan juga menginstruksikan dan mendorong jajaran Polri dalam penegakan hukum sesuai dengan prinsip due process of law, sangat didambakan oleh masyarakat. Sebuah proses penegakan hukum yang menjujung tinggi nilai-nilai keadilan, mempertimbangkan asas manfaat serta kepastian hukum. Apakah ini bisa terwujud di tahun 2023? Menjadi sebuah harapan bersama? Beberapa hal yang bisa menjadi resolusi :
Pertama, filosofi jangan menyakiti orang lain, jangan merugikan orang lain, bila tidak ingin itu terjadi pada diri kita menjadi filosofi dan landasan moril dalam penegakan hukum.
Kedua, perubahan mind set, efektif dimulai dari level kepala, yang dianalogkan busuknya ikan berawal dari kepala. Sehingga level pemimpin yang ada, benar-benar mentransformasi diri, sehingga mempercepat proses yang lebih baik tadi.
Ketiga, memandang ke depan dalam nuansa positif, tidak lagi terkunci pada stigma negatif. Penegakan hukum oleh polisi, menjadi etalase dalam penegakan hukum negeri ini, karena di tangan polisi-lah hukum dalam tahap awal berproses.
Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin, bila dijalani dengan penuh segenap hati dan ketulusan. Semoga begitu. Bukan lips service.
Tahun 2023, menjadi sebuah harapan.