Salah satu yang menarik dan diperdebatkan pascadisahkannya RKUHP menjadi KUHP adalah tentang pasal perzinahan dan kohabitasi (kumpul kebo, semen leven). Bahkan "kelewat hebohnya" ada negara tetangga hingga perwakilan badan dunia ingin tahu lebih jauh tentang hal tersebut, ini relevansinya dengan kunjungan ke Indonesia dan stay di hotel. Ketakutannya adalah bila bermalam atau booking hotel, kedapatan bukan suami istri, bisa dikenakan pasal baru tersebut.
Para stakeholder terkait disahkannya KUHP sudah memberikan penjelasan, pada intinya, hukum baru bisa digerakan apabila ada delik aduan.
Jadi, bagi turis, atau siapa saja yang booking dan melakukan kohabitasi tanpa adanya pengaduan pihak "pasangan yang sah", maka tidak ada law enforcement atau penegakan hukum. Penyidik, tidak bisa serta merta atas laporan warga, kemudian melakukan penggrebekan dan menangkap mereka yang terlibat.
Makanya, ada "area abu-abu" terkait dengan pengesahan pasal tersebut, dengan mengatakan bahwa hal tersebut substansinya sebagai ranah privat, negara tidak perlu turut campur.
Bukankah hukum pidana lebih pada ranah publik? Yang dalam konteks ini adalah bagaimana negara mengatur atau memberikan "perlindungan" pada publik bila dilanggar atau disemena-menakan?
Contoh ketika ada seseorang yang ditemukan meninggal di pinggir jalan, tanpa harus ada pengaduan, "negara" harus hadir memberikan perlindungan tadi dengan mengungkap mengapa meninggal, bila dibunuh orang, siapa yang melakukan dan pelakunya harus dihukum.
Proses yang harus dijalani tanpa adanya laporan tadi, melibatan sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana (Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Penasihat Hukum dan Lembaga Permasyarakatan).
Jadi penanganannya secara komprehensip, bukan sekedar menangkap pelaku dan mengadili, namun tuntas sampai pada perlakuan untuk pelaku pascavonis yang diterima, untuk "dikembalikan" menjadi manusia yang baik.
Untuk terjaganya tidak semua orang bisa menghakimi pelaku zinah dan kohabitasi, dikutip dari pernyataan Wamen Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, pihak yang dapat membuat pengaduan sebagaimana diatur dalam Pasal 417 ayat (2) adalah suami, istri, orangtua atau anaknya. Tujuan ini semua adalah sebagai pengejawantahan nilai-nilai masyarakat Indonesia dan penghormatan terhadap lembaga perkawinan.
Jadi apa yang membuat pasal ini dihebohkan?