Lihat ke Halaman Asli

Pantai Siung, Pantai Sejuta Kenangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pagi masih berselimut kabut, kawanan sahabat itu menyusuri jalan setapak. Tampak disekeliling jalan, tanaman padi nan hijau. Ada juga tanaman jagung, ketela, kacang dan palawija lainnya. Kicau burung mulai memecah sunyinya pagi. Tak lama setelah kami berangkat menyongsong deburan ombak dipagi hari. Di sebuah balai dusun biasa kami berkumpul, kami mulai acara santai di Minggu pagi itu. Hanya berbekal makanan seadanya, kami bermaksud menghabiskan waktu liburan di Pantai itu. Sebuah pantai nan asri, dengan pemandangan yang masih alami.

Pantai Siung, begitu orang – orang menyebutnya. Jaraknya hanya 4 km dari rumah ku. Dulu disana kami sering bermain dengan ombak, berlari bersama pasir dan bernyanyi dengan dentuman ombak. Disana dulu kami sering tertawa, menyalakan api, memanggan ikan bersama. Menyergap sekumpulan kepiting kecil di bibir pantai, dan bermain memandang hamparan garis cakrawala.

Kini kami telah beranjak dewasa, sahabat – sahabat masa kecil telah menemukan jalan hidup masing – masing dengan pangeran kecil mereka, dengan pasangan hidup mereka. Ya, tertinggal aku seorang diri yang masih sendiri dengan jalan hidupku sendiri. Seharusnya anak – anak kami melanjutkan persahabatan itu, agar menjadi sebuah ikatan saudara yang tak akan pernah putus. Kini sekumpulan sahabat itu tak lagi bisa bermain bersama layaknya dulu. Berkejar – kejaran seperti tak akan pernah dewasa. Duduk berbaris di masjid untuk menuntut ilmu, menyenandungkan ayat – ayat suci. Duduk bersama di pinggir jalan, menyanyikan lagu – lagu kesukaan.

Sahabat yang menemani ketika kami beranjak dewasa. Mengenal arti rasa suka kepada wanita, hingga sampai saatnya kami dipisahkan oleh sebuah harapan, masa depan. Semuanya bermuara di Pantai Siung. Mengalir bagaikan jutaan tetes air hujan. Sebuah pantai yang dikelilingi bukit, yang menghijai dikala hujan membasuh bumi. Pantai yang mulai ramai dikunjungi oleh orang – orang dari berbagai penjuru daerah. Sangat disayangkan ketika pembangunan pantai itu tidak menggunakan prinsip, back to nature.

Daun daun pandan nan teduh, kini mulai berkurang. Pasir – pasir landai kini mulai terkikis. Bersama kenangan yang mungkin telah mereka lupakan dari masa kecil mereka, Ketika jalanan masih berupa jalanan penuh kerikil, dan Ketika motor – motor belum berlalu lalang, dan bis – bis besar belum menghabiskan jalanan. Kini jalanan telah sehalus harapan di masa depan, seperti yang semua orang inginkan.

Namun bagiku, semua kenangan itu tergambar jelas di atap – atap langitku. Sesaat sebelum malam membawaku tidur dengan mimpi – mimpi, kenangan itu masih membekas. Dimana masa kecilku dan masa remaja ku memiliki banyak cerita di pantai itu. Di bukit – bukit batu yang kini menjadi wahana panjat tebing kelas nasional itu, dulu aku pernah berdua diantara ramainya pengunjung bersama orang yang sudah lama menjadi masa laluku. Di tempat itu pula, banyak kami abadikan dalam jepretan kamera film yang mewah di saat itu. Entah foto – foto itu kini dimana, tapi gambar – gambar itu masih terbingkai jelas di dalam ingatanku.

Dan kini, ketika sudah lebih dari enam tahun aku meninggalkan desaku, pantaiku, aku sangat merindukan masa – masa kecil itu. Aku rindukan ketika aku berpikir bahwa aku tak akan dewasa, tak akan merasakan beratnya sebuah tanggung jawab yang terbawa oleh usia.

Kembali ke masa lalu, tidak mungkin. Karena sejuta kenangan di pantai itu tak akan lagi terulang, oleh siapapun. Dan rasa syukur akan selalu kami panjatkan, karena kami memiliki masa kecil yang sangat luar biasa bersama sahabat – sahabat yang juga sangat luar biasa. Semoga tetap indah Pantai Siung, Pantai Sejuta Kenangan...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline