Lihat ke Halaman Asli

Heribertus Binawan

Pengamat Pendidikan dan Seni

Cerpen | Nyanyi Sunyi, Tembang Malam

Diperbarui: 4 Agustus 2018   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (pixabay - ekohernowo)

Sore ini hujan baru saja reda, cahaya kuning terang mulai menyala. Liuk menari pohon Trembesi terbawa tembang lembah melandai. Seorang nenek terlihat berpakaian rapi. Ia menyembul dari balik pohon-pohon Kopi di pinggir jalan. Berkebaya hitam, berkain coklat pekat khas petani dusun. Rambut putih rapi diikat ke belakang. 

Meski telah beruban namun terlihat tebal, lebat, panjang dan berkilau. Ia berkalung selendang ungu panjang, tipis menjuntai dari leher lalu pundak dan lengan. Selendang ungu berkelebat-kelebat terbawa kibasan tangan kiri dan kanan. Saat berjalan, gerakannya harum daun pandan. Wajahnya berseri wangi bunga melati.   

Pelan tapi mantap, ia berjalan ringan menuju ke timur. Mungkin menuju ke bukit menjulang itu, yang dari jauh bentuknya menyerupai raksasa tidur.

Dari gerakannya, orang tidak akan mengira usianya sudah kepala tujuh. Tubuhnya ramping, jalannya lincah. Mulutnya komat-kamit seperti melafal mantra. Sesungguhnya mengunyah daun sirih saja. Ataukah sungguh melafal doa? Ahh...gerak-geriknya selalu melontarkan tanya. Sebentar-sentar ia menoleh ke belakang, mengukur seberapa jauh putu lanang, berjalan di belakang.

Anak kecil itu tak lama menyusul kemudian. Ia mungkin berumur sepersepuluh usia neneknya. Badannya sehat dan gerak-geriknya lincah. Ia gesit berlari kecil sambil menyunggi tampah. Meski tampah ditutup daun pisang, orang pastilah menduga isinya sesaji ruwah sarana sembahyang. 

Bajunya coklat seragam pramuka kebanggaannya. Celananya merah, baru beli dari pasar untuk keperluan upacara di hari senin depan. Tanpa terumpah. Sungguh gagah!

Inilah bulan yang dirindu banyak orang. Di bulan ini semua mengirim sedekah tanda sayang, dari yang muda kepada yang tua; dari yang masih mengelana di dunia pada leluhur di surga, tepatnya leluhur Gunung Suryakencana. Gunung itu tak jauh, letaknya hanya di sebelah timur desa.  

Bergegas mereka berdua. Berjalan setengah berlari namun tak terengah nafasnya. "Nenek, tunggu aku!", tukas si bocah. "Bukankah dari tadi nenek menunggumu?", jawab nenek singkat tanpa sedikitpun menoleh. Sebab baginya, menunggu tak harus dengan diam termangu.

Ceria mereka tetap meneruskan perjalanan, kadang terdengar tawa si bocah melihat neneknya repot memilih langkah. Sedikit ditarik sinjang ke atas untuk memudahkan kaki menjangkah. Maklum selepas hujan, jalan becek oleh bercak lumpur merah. Jangan sampai baju nenek berlumur, sebab belum juga bertemu pada siapa mereka hendak tafakur.

Jalan kian naik, suasana makin sunyi. Angin semakin dingin, kabut pelan memagut. Garengpung menyahut agung, jangkerik menyanyikan derik. Matahari kian ke barat, kian memerah sinarnya. Bayang-bayang hitam pepohonan kian pekat. Membentuk gerumbul bayangan orang-orang. Berkelebat, berlari, bersembunyi di balik sepi sunyi. "Selamat datang!" sambut keremangan malam.

Di tenggara, bulan remang-remang menampakkan bentuknya. Tipis terangnya. Tegas garis lingkarnya. Bulat. Sebulat tekat keduanya berjalan melunaskan hasrat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline