Lihat ke Halaman Asli

Falsafah "Butuh" dalam Pembelajaran

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1289283191301702418

Kata "butuh" memiliki pemaknaan yang unik dalam Bahasa Jawa. "Butuh" dalam Bahasa Jawa diartikan sebagai "dalam kondisi membutuhkan". Orang Jawa juga mengenal "Falsafah Butuh" dalam dinamika hidup keseharian mereka. Jika seseorang itu sedang dalam kondisi "butuh", maka apapun akan dilaluinya demi tercapainya sebuah cita-cita.

Seorang teman saya di Jogjakarta rela setiap malam minggu menempuh jarak 55 km dari kota menuju Kulon Progo-di sebuah desa di perbukitan untuk menemui pacarnya, sehingga praktis pulang pergi 110 km. Hal ini sudah dilakukannya sejak beberapa tahun yang lalu. Ini baru soal asmara dua orang muda, tentu masih ada banyak lagi contoh yang lebih dalam dan menyentuh.

Seorang perempuan renta kurang lebih berumur 70-an tahun, setiap pagi hingga sore berjalan kaki menyusuri kampung-kampung untuk mengumpulkan bekas botol/gelas plastik air minum. Hingga berkilo-kilo dia berjalan tanpa mengenal lelah. Siang hari yang terik, kadang juga hujan lebat dengan petir tidak pernah menjadi rintangan untuk bekerja. Setiap hari dia lakukan hal yang sama demi penghidupannya.

Sebuah contoh yang paling dekat dan kasat mata bagi kita saat ini adalah adanya ratusan ribu pengungsi korban letusan Merapi yang tersebar di wilayah-wilayah sekitar Merapi. Mereka rela tidur berhimpitan diantara ribuan manusia dalam suasana yang genting dan serba terbatas. Padahal tanpa sepengetahuan kita, mungkin saja diantara mereka sebenarnya berasal dari strata sosial yang berbeda, namun mereka rela untuk bergumul tanpa jarak se-mili meter pun.

Kiranya masih ada banyak lagi contoh semacam itu disekitar kita. Pertanyaan selanjutnya, adakah keterkaitan antara contoh-contoh tersebut dengan "falsafah butuh" ? Mari kita lihat bersama-sama.

Masyarakat Jawa meyakini bahwa jika seseorang sedang dalam kondisi "butuh" maka apapun rintangannya akan dilalui dengan sepenuh hati. Seorang teman yang rela menempuh jarak berkilo-kilo meter setiap minggunya tidak lain adalah karena adanya faktor "butuh", yakni kebutuhan untuk bertemu dengan kekasih hatinya. Seorang renta yang rela bekerja setiap hari di bawah terik dan hujan tak lain adalah karena adanya kebutuhan untuk menyambung hidup. Begitupun dengan ratusan ribu pengungsi yang rela tidur berhimpitan satu sama lain adalah juga karena adanya kebutuhan untuk selamat.

Alkisah ada seorang murid bertanya pada Gurunya. "Pak Guru, berilah suatu cara bagiku agar dapat belajar dengan penuh semangat dan tanpa mengeluh.! Dengan peneranganmu, aku pasti akan melaksanakannya, seberat apapun itu!" Maka jawab sang Guru,"Anakku, mari ikutlah bersamaku ke kolam itu."

Maka Guru itu membawa murid ke kolam yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Sebentar kemudian, sang Guru membenamkan si murid ke dalam air untuk beberapa saat lalu mengangkatnya kembali. Maka tanya sang Guru,"Apa yang kamu rasakan ketika kepalamu di dalam air?" Jawab Murid,"Aku butuh udara untuk bernafas." Lalu kata sang Guru,"Nah, jika kamu memiliki perasaan "butuh" pengetahuan yang sama mendesaknya dengan ketika kamu "butuh" udara untuk bernafas, maka kamu tidak akan pernah malas belajar."

Mari semakin semangat untuk belajar dari fenomena kehidupan, termasuk dari bencana yang melanda kita saat ini.!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline