Lihat ke Halaman Asli

Ayah Memaksaku Menjadi "Orang Kaya"

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku duduk termenung menikmati indahnya malam. Mataku lekat memperhatikan kilauan venus dibalik jendela. "Aku rindu keluargaku",hatiku berkata lirih. Kulirik layar poselku, tampak signal TELKOMSEL masih menghiasinya. “Pukul 00.20".

Sekali lagi kucoba lantunkan sebuah lagu diiringi gitar yang ada di pangkuan. Lagu yang terinspirasi dari seorang lelaki tua yang hidup dalam kemiskinan setelah kebangkrutan menyapa bisnisnya. Satu-satunya harta berharga yang tersisa hanya putranya. Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun yang ditinggalkan ibunya karena tak sanggup hidup dililit hutang. Seorang anak yang selalu mengigau dan menangis merindukan ibunya. Seorang anak yang harus berbesar hati melihat teman sekolahnya bertukar bekal dari ibunya. Seorang anak yang hanya bisa mengenggam erat tangan ayahnya saat melihat temannya bercanda dengan ibunya. "Aku sayang papa", hatinya menangis.

Di balik sebuah kamar kos yang sempit, dia mengajarkan arti perjuangan hidup pada putra semata wayangnya. "Jangan menyerah nak, teruslah belajar. Suatu saat kita pasti menjadi orang kaya. Giatlah belajar dan jadilah orang kaya.", nasihatnya sambil menyelipkan karung plastik usang di bawah jok sepedanya. Karung yang biasa digunakan sang anak untuk memungut sampah di dekat lokasi kerjanya sebagai kuli bangunan. Pekerjaan yang mencukupi hidup dan biaya sekolah anaknya.

Sore itu kecelakaan naas merenggut nyawanya. Ia terjatuh saat memasang kaca jendela di lantai 7. Tali katrol yang dinaikinya putus. Pecahan kaca menikam kepalanya. Ia meninggal seketika. Sang anak yang berlari menuju lokasi kejadian menangis terisak-isak seraya memanggil ayahnya. Percuma. Tangisnya tidak bisa merubah keadaan. Ia pasrah. Seketika dunia menjadi gelap. Anak itu pingsan. Saat terbangun, ia hanya mendapati ibu kos menatapnya penuh iba dengan berlinang air mata. Ia tahu maksudnya. Matanya menerawang menyusuri dinding kamar. Terlihat catatan kecil ayahnya pada secarik kertas yang ditempel depan meja balajarnya. "BERJUANGLAH NAK, KARENA HIDUP ADALAH PERJUANGAN. BELAJARLAH NAK, AGAR KAMU BISA MENJADI ORANG YANG KAYA HATI, KAYA ILMU, DAN KAYA HARTA. AYAH PERCAYA KAMU PASTI BISA".

Sudah 20 tahun peristiwa itu terjadi, kertas usang itu masih lekat di genggaman anaknya seraya melantunkan lagu rindu untuk ayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline