Lihat ke Halaman Asli

Kisah Zakat & Pacitan

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap bulan atau setiap menerima uang dari kerja kita, Tuhan menitipkan 2,5% didalam fee kita itu, untuk orang lain. Mekanisme logis itulah yang dipakaiNya untuk memeratakan rezeki. Tentunya Tuhan -meski dengan kewenangan absolut- bisa saja Kun fayakun, Sim salabim, tapi Dia menurunkan rezeki tidak dengan mekanisme sulap. Maka lahirlah wajib Zakat.

Belakangan ada kejadian aneh. Setiap saya telat membagikan kewajiban saya/ zakat tsb, yaitu, selalu mimpi kehilangan. Yang sering, mimpi kehilangan motor. Seperti tidur tadi pagi, saya mimpi kecolongan motor lagi. entah udah berapa kali, terancam, tiap telat zakat.

Dan memang zakat yg sudah saya alokasikan tsb, masih disimpan istri saya & belum dibagikan, padahal harusnya dibagikan awal bulan, ini sudah hampir akhir bulan, lupa untuk didistribusikan. Langsung saja, tadi saya ambil dari lemari & saya niatkan, dibagikan di jalanan kepada para pemulung, bapak-bapak yg berkeluarga atau orang yg berhak lainya.

Tadi ada 6 orang disepanjang jalan yg saya 'pilih' untuk mendapatkan haknya tersebut. 4 pemulung, 1 petugas kebersihan & 1 tukang kebun freelancer. Nah yg menarik yg terahir saya temui. Bapak dengan cangkul & cikrak dipikul, berjalan gontai menyiratkan wajah yg lelah tak punya semangat hidup.

Saya tanya, Puasa pak? dijawabnya lirih dengan tatapan layu, "Iya…" terlihat seperti pasrah, kehilangan harapan, kemudian saya pergi. Dari pertemuan singkat tadi, memberikan bekas panjang dibenak, terbanyang lukisan wajah dibalik kepasrahannya yg dalam.

Seakan memberi pesan kepada saya, beruntung kamu diberi jalan hidup yg baik, dimana kamu mendapatkan pendidikan, dibekali Tuhan ketrampilan, lalu dari situ kamu mendapatkan hidup yg -relatif- layak, dan bermacam-macam alasan yg sering lupa saya syukuri.

Nun jauh disana, Pacitan, teman saya yang tinggal disana bercerita, sampai saat ini, masih banyak orang, yang keseharian cuma makan Tuwul tok! hanya makan ubi, tanpa lauk apapun. Sampai ketika keluarganya sakit, dikirimi makanan, dan setelah dibuka rantangnya, isinya ya…cuma Tiwul, yg dimasak dengan kayu bakar. Begitu alaminya, sehingga tak menyentuh proses teknologi, kimiawi, birokrasi menejemen ekonomi, kepentingan politik & apapun tentang mekanisme sistemik moderenitas. Bandingkan mata rantai dari yang kita makan?

Perenungan kontemplatif dengan alam sekitar, kini durasinya semakin tipis direbut traffic informasi sosial media. Kalau saja Tuhan tidak mewajibkan zakat & akhirnya saya tak menemukan persentuhan langsung dengan Bapak tadi, mungkin saya akan kehilangan separuh rahasia hidup ini, tertutup jumawa, ego atau pseudo heroism.

Masih dan masih banyak lagi, alasan kenapa Tuhan menyuruh kita zakat...

(5 Ramadhan 1433 H)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline