Lihat ke Halaman Asli

Herry Gunawan

seorang pemuda yang peduli

Idul Fitri, No Hate Speech dan Indonesia

Diperbarui: 8 Mei 2022   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Damai Indonesia - jalandamai.org

Ramadan dan Idul Fitri baru saja berlalu. Semua umat muslim berharap bisa bertemu dengan Ramadan berikutnya. Karena Ramadan banyak memberikan pembelajaran, tentang pentingnya menjaga hawa nafsu. Ramadan telah mengajarkan bagaimana mengendalikan amarah dan kebencian, yang mungkin begitu lekat dengan perilaku kita. Seperti kita tahu Bersama, provokasi radikalisme dan ujaran kebencian dia media sosial bagi massif terjadi. Dan segala bentuk kebencian tersebut, juga disadarkan pada peristiwa Idul Fitri. Dimana setiap orang dituntut untuk belajar memaafkan dan memberikan maaf.

Meminta maaf dan memberikan maaf mungkin terkesan sederhana. Namun bagi pihak yang sedang dikendalikan amarah dan kebencian, tentu bukan perkara mudah. Karena dalam mind set nya adalah dirinya yang paling benar. Sementara pihak yang berbeda pandangan, berbeda keyakinan, atau perbedaan yang lain dianggap salah, bahkan ada yang menganggap sesat atau kafir. Cara pandang yang salah seperti ini, harus dihilangkan dalam pikiran. Karena cara pandang seperti ini merupakan cara pandang radikalisme dan intoleransi.

Padahal, kita semua tahu bahwa budaya Indonesia tidak ada yang mengajarkan tentang provokasi dan kebencian. Kearifan lokal yang tersebar dari Aceh hingga Papua puan, justru mengajarkan tentang pentingnya saling menghargai dan menghormati. Bahkan agama-agama yang ada di Indonesia pun, juga tidak ada satupun yang mengajarkan tentang provokasi dan kebencian. Karena itulah mari kita introspeksi dan open minded. Jika selama ini kita menjadi bagian dari penyebar kebencian, hentikanlah. Akui itu sebagai sebuah kesalahan, karena memang tidak ada manfaatnya.

Belajar mengakui kesalahan dan meminta maaf, harus bisa dilakukan oleh semua pihak. Dan pihak-piihak yang merasa dirugikan, juga harus belajar untuk memaafkan. Idul fitri mengajarkan kepada kita semua tentang pentingnya untuk saling memaafkan dan meminta maaf. Dengan demikian kita juga bisa meminimalisir bibit kebencian yang ada dalam diri. Karena setiap manusia pada dasarnya mempunyai bibit kebencian. Dan kebencian itu harus dikendalikan, tidak boleh mendominasi dalam setiap keputusan.

Jika kebencian mendominasi dalam pola pikir dan perilaku kita, lalu disebarluaskan melalui provokasi di media sosial, dampaknya akan tidak bagus buat kita, keluarga dan lingkungan. Dalam skala yang lebih besar, akan sangat mengganggu Indonesia. Kok bisa? Karena karakter Indonesia adalah negara yang majemuk, negara yang penuh dengan keberagaman. Ini artinya perbedaan menjadi hal yang lumrah terjadi di Indonesia. Sepanjang tidak merugikan kepentingan masyarakat, berbeda pada dasarnya tidak ada masalah.

Sayangnya, kelompok intoleran dan radikal terus mempersoalkan keberagaman dengan berbagai macam provokasinya di media sosial. Bahkan sistem demokrasi yang diadopsi Indonesia juga dianggap sesat, karena produk barat. Yang lebih tidak masuk akal lagi, Pancasila dianggap sesat, hormat bendera merah putih ketika upacara dianggap sesat. Belakangan ada seorang ustaz yang menyatakan wayang merupakan tidak relevan dan mestinya dimusnahkan. Pandangan semacam ini harus disikapi dengan literasi, tidak bisa ditelan mentah-mentah. Sekali lagi, hentikan segala bentuk provokasi dan kebencian. Mari Kembali ke fitrah seperti di hari raya Idul Fitri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline