Lihat ke Halaman Asli

Herry Gunawan

seorang pemuda yang peduli

Perkuat Literasi, Jangan Biarkan Agama Disusupi Radikalisme

Diperbarui: 20 Maret 2021   09:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Damai Indonesia - gambar via irfanisme on pinterest

Tak dipungkiri, sejumlah orang mengatasnamakan agama tertentu, seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan, bahkan cenderung intoleran. Ironisnya, kelompok ini seringkali membawa nilai-nilai keagamaan, berpakaian seperti layaknya ulama, namun pemikiran, perkataan dan perbuatannya justru tidak mencerminkan nilai-nilai agama yang sebenarnya.

Kelompok ini memang minoritas, namun terkadang mereka seringkali menggunakan dunia maya, untuk mempengaruhi pola pikir orang, khususnya dalam memahami agama. Indonesia memang bukanlah negara agama, namun nilai-nilai keagamaan sangat melekat di dalam masyarakatnya. Mayoritas masyarakat Indonesia memang memilih muslim, tapi Indonesia bukanlah negara Islam. Indonesia negara beragama, yang mengakui banyak agama.

Lalu, kenapa agama rawan disusupi ajaran radikalisme? Dalam konteks Indonesia, banyak pelaku radikalisme dan terorisme, seringkali membawa sentimen keagamaan dalam setiap aksinya. Akibatnya, sebagian orang berpikir bahwa agama tersebut identik dengan radikalisme. Padahal, agama apapun, tidak pernah mengajarkan kebencian apalagi kekerasan. Agama apapun selalu mengajarkan untuk berlombat berbuat kebaikan.

Maraknya oknum-oknum yang menyusupkan bibit radikalisme dalam agama, bisa dilakukan oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Tidak sedikit orang yang langsung menyatakan berbeda agama itu sesat, kafir dan segala macamnya. Bahkan, Indonesia harus dijadikan negara dengan konsep khilafah, karena mayoritas penduduknya muslim. Pandangan ini jelas salah dan tidak perlu diikuti. Untuk bisa menyatakan salah, harus perkuat dengan literasi. Agar kita bisa memahami agama itu secara utuh dan kontekstual.

Antisipasi penyusupan radikalisme dalam pendidikan agama memang perlu dilakukan. Namun, bukan berarti menghilangkan pendidikan agama, seperti yang belakangan ini ramai diperbincangkan. Draft peta jalan pendidikan Indonesia 2020-2035 tidak memasukkan frasa agama di dalamnya. Alhasil, publik langsung bereaksi berpikir yang macam-macam. Pemerintah diharapkan juga harus lebih jeli. Namun semua pihak juga harus sadar, bahwa hal-hal semacam ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok intoleran, untuk menunjukkan eksistensinya dan memunculkan hal-hal yang menyesatkan di publik.

Belakangan ini semua orang protes atas hilangnya frasa tersebut. Meski mendikbud sendiri sudah membantahnya, tidak akan menghilangkan pendidikan agama, namun bola panas sudah terlanjur menggelinding. Menteri Nadiem menegaskan akan kembali memasukkan frasa agama dalam draft peta jalan, dan pemerintah menegaskan tidak akan menghilangkan pendidikan agama. Ada semacam kekhawatiran, masyarakat yang ingin mempelajari agama, belajar pada orang yang salah. Sentimen yang dibangun pemerintah sudah tidak mempedulikan agama, bisa menjadi boomerang.

Untuk itulah, masyarakat harus benar-benar cerdas dalam menyikapi polemik yang sedang berkembang, terkait peta jalan pendidikan Indonesia ini. Ketika pemerintah sudah menegaskan tidak ada frasa yang hilang dan tidak ada penghapusan pendidikan agama, mari kita sudahi polemik ini. Ingat, kelompok intoleran dan radikal masih ada di sekeliling kita. Mereka masih akan terus memanfaatkan sentimen apapun untuk menyerang pemerintah, untuk mempengaruhi masyarakat, ataupun pada titik yang lebih ekstrem adalah memprovokasi untuk melakukan tindakan intoleran, radikal bahkan terorisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline