Lihat ke Halaman Asli

Herry Gunawan

seorang pemuda yang peduli

Kritik, Delik, dan Kebebasan Berekspresi

Diperbarui: 20 Februari 2021   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hate Speech - national.kompas.com

Kritik di era demokrasi seperti sekarang ini tentu bukanlah hal yang aneh. Kritik justru menjadi hal lumrah, seiring dengan adanya jaminan dari undang-undang terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum. Namun ekspresi dan pendapat ini tentu juga harus diatur dalam undang-undang agar tidak kebablasan. Apakah selama ini kebablasan? Tentu harus dicari indikatornya. Yang jelas di era kemajuan teknologi ini, banyak sekali orang yang mengunggah postingan, yang berujung pada delik aduan. Tidak sedikit dari masyarakat yang sadar, bahwa kritik, atau argumentasi yang mereka munculkan di publik, berpotensi bisa menjadi delik aduan karena terbukti mencemarkan nama baik atau melanggar UU ITE.

Mari kita menjadi netizen yang cerdas. Mari kita belajar hukum, karena sejatinya kita tinggal di negara hukum dan berlandaskan atas hukum. Artinya, segala sesuatunya diatur oleh hukum. Bahwa adanya pasal-pasal yang dianggap karet, mari kita berikan pendapat yang sifatnya kritik membangun. Saat ini pemerintah mengklaim akan melakukan revisi UU ITE yang dianggap pasal karet. Sebagai masyarakat awam, mari kita cermati hal tersebut agar ketika beratifitas di media sosial tidak berujung pada delik aduan.

Hal sederhana yang perlu jadi perhatian bersama adalah jangan mengumbar kebencian, jangan memposting kejelekan orang lain, dan jangan menuduh tanpa bukti yang jelas. Tanpa ada UU ITE pun, perilaku tersebut tidak sesuai dengan adat istiadat kita sebagai warga negara Indonesia. Dalan ajaran agama apapun, juga tidak ada yang menganjurkan untuk saling membenci satu dengan lainnya. Justru yang terjadi sebaliknya, antar sesama dianjurkan untuk saling berinteraksi, saling menghargai dan menghormati. Karena kita pada dasarnya saling berbeda. Dan perbedaan semestinya tidak dimaknai sebagai persoalan yang harus dipertentangkan.

Seiring dengan kemajuan zaman, aktifitas di dunia maya memang meningkat pesat. Aktifitas penyampaian ekspresi pun juga dengan sendirinya mengalami peningkatan. Seakan tidak ada hal yang sifatnya privasi lagi. Setiap orang bisa bebas mengungkapkan keluhannya dalam status, postingan atau yang lain. Seseorang juga bisa mengkritik, menjelekkan, mengingatkan, atau memberikan inspirasi, semuanya bercampur menjadi satu melalui kecanggihan teknologi. Artinya, kritik bisa diarahkan ke hal-hal yang sifatnya positif. Dan kritik juga bisa diarahkan pada hal-hal negatif yang bisa berujung pada delik. Semuanya merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Tinggal kita mau pilih yang mana.

Di era kemajuan informasi ini, nyatanya justru banyak bermunculan orang-orang yang secara sengaja dibayar untuk menyebarkan informasi. Orang sekarang familiar menyebutnya buzzer. Mereka ini juga tidak sepenuhnya jelek, tapi ada juga buzzer yang positif, yang menyebarkan pesan-pesan kedamaian. Namun yang perlu diwaspadai adalah buzzer yang menyebarkan hoaks, kebencian dan provokasi. Demi rupiah dari oknum tertentu, aktifitas para buzzer ini bisa memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat.

Mari kita saling menahan diri untuk tidak saling menjelekkan. Mari kita berlomba untuk menebar inspirasi dan pesan damai. Kritik silahkan dilakukan tapi harus dengan tetap mengedepankan data, fakta dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini penting dilakukan agar kritik tidak berujung pada delik aduan, dan memecah belah persatuan dan kerukunan. Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline