Lihat ke Halaman Asli

Herry Gunawan

seorang pemuda yang peduli

Generasi Penerus Bukanlah Generasi Provokatif

Diperbarui: 10 Oktober 2020   12:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belakangan ini banyak peristiwa yang bisa kita jadikan pembelajaran bersama. Maraknya disinformasi yang dipicu provokasi, berujung pada aksi anarki. Beberapa waktu lalu, paska penetapan RUU Omnius Law Cita Kerja menjadi undang-undang, informasi yang menyesatkan banyak sekali bermunculan di media sosial. Kondisi ini diperparah kurang berjalannya sosialisasi yang dilakukan pemerintah, sehingga membuat disinformasi ini terus berkembang menjadi liar.

Klimaksnya adalah ketika elemen buruh dan mahasiswa mengerahkan massa dalam jumlah besar, banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Bahkan anak SMA juga banyak yang ikut-ikutan demonstrasi, karena mendapatkan informasi dari pesan berantai. 

Bahkan, belakangan diketahui adanya ajakan untuk membuat rusuh. Tentu adanya demonstrasi tersebut bukanlah tanpa sebab. Hal tersebut karena dipicu penetapan RUU Omnibus Law Cipta Kerja  menjadi UU. Aturan tersebut dinilai sangat merugikan buruh, pekerja dan Indonesia.

Belakangan, setelah terjadinya demonstrasi yang berujung anarki, pembakaran fasilitas publik, perusahakan fasilitas publik dan tindakan tidak terpuji lainnya, media mulai ramai menjelaskan tentang adanya disinformasi terkait aturan tersebut. Misalnya adanya anggapan UMP dihilangkan dalam UU tersebut. Ternyata anggapan tersebut salah. Bahkan presiden Jokowi pun juga menegaskan bahwa tidak ada penghilangan UMP, cuti dan lain sebagainya.

Bukan bermaksud memihak si A atau si B. Sebagai generasi penerus, kita semestinya tidak membiarkan diri kita menjadi pribadi yang kosong, yang serta merta percaya setiap informasi. Mari menjadi generasi yang cerdas, yang membekali diri dengan informasi yang benar. Ingat, saat ini masih dalam masa pandemi. Kenapa tidak pernah berpikir adanya potensi terpapar virus corona? Terbukti, di beberapa daerah ada beberapa demonstran yang reaktif, bahkan ada yang positif setelah ditindaklanjuti ke swab.

Contoh lain begitu mudahnya kita terprovokasi adalah, ketika awal pandemi pemerintah memutuskan untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ketika ada anjuran pembatasan peribadahan di tempat ibadah, langsung disikapi secara reaktif. Publik langsung diarahkan pada kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada umat muslim. 

Pemerintah justru berpihak pada pengusaha yang membiarkan pusat perbelanjaan untuk membuka gerainya. Semuanya itu 'digoreng' sedemikian rupa dan dibumbui pesan kebencian. Akibatnya, saling hujat pun marak di media sosial. Kondisi semakin runyam ketika diskriminasi juga dimunculkan. Banyak tenaga medis dan jenazah yang meninggal akibat covid, mendapatkan diskriminasi.

Sekali lagi, mari menjadi generasi yang smart. Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus bisa obyektif dan logis. Obyektif terhadap segal informasi, dan logis agar kita bisa memahami, kira-kira informasi tersebut relevan atau tidak, benar atau tidak. 

Sebagai generasi yang cerdas, tentu kita tidak akan membiarkan negara yang kaya akan segalanya ini hancur, karena ulah masyarakatnya sendiri. Mari kita jaga Indonesia dari segala pengaruh buruk. Mari terus sampaikan informasi yang menyehatkan, menyejukkan, dan memberikan inspirasi bagi semua orang, agar kita semua tetap berdampingan dalam keberagaman. Salam literasi dan toleransi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline