Saat ini Indonesia memasuki masa kampanye. April 2019 mendatang, masyarakat Indonesia akan melakukan pemilihan umum, memilih anggota legislative, presiden dan wakil presiden. Dan untuk bisa merebut kursi kekuasaan, tentu para elit partai berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mewujudkan impiannya.
Dan salah satu yang bisa kita saksikan saat ini adalah, para pihak sudah mulai saling menyerang, saling mencari kelemahan lawan, dan memuji kelompoknya sendiri. Pernyataan elit partai yang muncul di media, minim gagasan. Yang ada adalah bibit kebencian kepada pihak tertentu. Sementara di wilayah medsos, para buzzer terus bekerja menebarkan hoax, kampanye negative tanpa data, hingga kampanye hitam. Dan semuanya itu, sudah pernah terjadi di masa kampanye.
Dampak dari semua ini, pada tingkat bawah para masyarakat bisa saling berseteru. Mereka tidak senang calon yang didukungnya dijelekkan. Karena berita tentang kejelekan lawan yang menjadi viral, diyakini akan menjatuhkan elektabilitas pasangan lawan.
Praktek ini semestinya sudah tidak terjadi lagi. Apalagi pemilu 2019 adalah 'pertandingan ulang' antara Jokowi dan Prabowo yang sebelumnya sudah pernah bertanding di 2014. Semestinya, kualitas pemilu 2019 harusnya jauh lebih baik. Namun yang ada hingga saat ini adalah diskusi program sangat minim, tapi diskusi tentang kebencian dan kejelekan pihak lawan begitu nyata terjadi di dunia maya dan nyata.
Disisi lain, ada juga pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan panasnya politik yang terjadi, untuk mewujudkan kepentingannya. Provokasi kelompok radikal mulai menyusup dibalik hiruk pikuk politik yang ada.
Mareka mulai menebar isu bahwa pemerintah adalah thogut, karena tidak berpihak pada ulama dan lain sebagainya. Dan kondisi ini juga mulai dimanfaatkan oleh elit politik. Bayangkan apa yang terjadi jika para elit politik menggunakan kelompok intoleran, untuk membuat negeri yang damai ini menjadi negeri yang dipenuhi konflik. Karena kebencian yang terus diprovokasi, berpotensi bisa memicu konflik yang lebih besar di tengah masyarakat.
Untuk itulah, generasi milenial tidak boleh bersikap pasif. Jadilah generasi yang aktif mengupgrade diri dengan informasi yang valid, dengan ilmu pengetahuan, dengan kemampuan yang mempunyai manfaat bagi masyarakat.
Pesan kebencian yang sudah terlanjur marak di media sosial, harus dilawan dengan pesan kedamaian. Jangan biarkan generasi berikutnya terpapar bibit-bibit kebencian yang bisa mendekatkan diri pada intoleransi dan radikalisme. Karena bibit intoleran jelas-jelas merugikan diri kita sendiri, keluarga, dan masyarakat yang lebih luas. Aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, juga tak bisa dilepaskan dari penyebaran paham intoleransi dan radikalisme di dunia maya.
Membela negara bukan berarti harus ikut sebuah pertandingan olah raga di luar negeri. Membela negara juga bukan berarti harus hidup dalam era penjajahan.
Mencintai negara, mengisi kemerdekaan dengan kegiatan yang bermanfaat, juga merupakan bentuk membela negara. Menebarkan pesan kedamaian juga bentuk membela negara di era milenial. Ketika kebencian menjadi ancaman, sudah menjadi kewajiban bagi generasi penerus, untuk memutus ancaman tersebut. Bibit perpecahan harus pergi dari bumi Indonesia. Karena negeri ini adalah negeri yang damai dan bukan negara konflik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H