Pada masa Orde Baru (Orba), banyak sekali jargon (semboyan) yang diciptakan pemerintah untuk mengiringi sebuah proyek atau program. Misalnya jargon BKKBN : Dua Anak Cukup lalu, Korupsi dan Pungli Harus dibabat sampai ke Akar-akarnya, ABRI adalah Universitas Rakyat, Kesetiakawanan Sosial dll.
Kebanyakan jargon yang diciptakan adalah soal ABRI (TNI) dan Orde Baru. Tapi tak sedikit jargon yang juga merupakan keinginan untuk mewujudkan kesejahteraan dengan cara yang sesuai keinginan rejim kala itu.
Dalam tinjauan keilmuan, pesan dalam jargon punya beberapa asumsi yang menciptakan makna bagi semua pelaku dan penikmat jargon yang terlibat di dalamnya. Pemakaian jargon politik semacam ini di masa lalu dapat melecut kekuatan moral atas kondisi rakyat Indonesia, terutama pada masa-masa awal Orde Baru yang jauh dari kesan sejahtera. Pemerintah Orde Baru kala itu menciptakan berbagai macam jargon politik di bidang sosial, politik serta ekonomi demi tercapainya stabilitas nasional. Juga memberi prespektif kepada masyarakat akan pentingnya jargon-jargon yang mereka sampaikan itu sebagai lecutan kepada mereka agar bisa berjuang mewujudkan kesejahteraan.
Kekuatan jargon di masa lalu juga tak lepas dari keterlibatan media massa yang 'dipaksa' oleh penguasa orde baru saat itu. Masyarakat dibombardir dengan berbagai jargon agar rakyat bisa memotivasi dirinya dan kemudian berjuang seperti yang disampaikan pada jargon itu.
Pada masa kini ketika reformasi sudah mencapai 17 tahun, dominasi jargon sudah tidak nampak lagi. Pemerintah jauh lebih terbuka dan tidak lagi memaksakan apa yang menjadi programnya. Masyarakat dan beberapa pihak cenderung punya banyak pilihan terhadap cara mencapai cita-cita, yang juga sama dengan cita-cita bangsa.
Tetapi sebenarnya ada beberapa jargon di masa lalu yang mungkin masih relevan dengan keadaan kita, semisal kesetiakawanan sosial, Bhinneka Tunggal Ika dan Bersatu kita padu dan bercerai kita runtuh, adalah jargon yang masih bisa kita pakai dalam kehidupan berbangsa masa kini. Karena bagaimanapun, kondisi masyarakat yang majemuk dan kita memang harus selalu diingatkan untuk selalu bersatu dan rukun sehingga dapat mewujudkan cita-cita bersama itu.
Bagaimanapun, hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sungguh luar biasa. Penyusun Pancasila mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa, karena pada intinya semua agama mengajarkan kasih sayang.
Di sinilah penting melihat kesetiakawanan misalnya, bukan hanya sekedar slogan kosong, namun harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini nyata bahwa kehidupan kita di Indonesia, ketika terjadi bencana, tanpa diperintah semua golongan datang bersama-sama membantu meringankan beban para korban. Ini semua suatu hal yang indah dan harus kita lestarikan dalam kehidupan.
Di era sekarang, mungkin yang diperlukan adalah melihat jargon-jargon itu dengan prespektif baru. Tidak hanya mewujudkannya karena terpaksa oleh penguasa , tapi secara batiniah kita mengakuinya, semisal perbedaan, kemajemukan , dll. Dengan begitu, kerukunan berbangsapun dapat terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H