Tiba-tiba saja, di Indonesia muncul anggapan bahwa kasus suku Rohingya di Myanmar menjadi persoalan agama. Seakan-akan, membiarkan atau mengutuk pembantaian suku keturunan Bangladesh yang hidup di Pantai Barat Myanmar adalah sikap berseberangan dengan Islam. Tidak sulit menduga dari mana anggapan ini berasal karena seorang politisi terkemuka bahkan menggunakan kata "Islam" untuk mengkritik respon pemerintah terhadap pembantaian etnis tersebut di Myanmar.
Di luar konteks hubungan internasional dan regionalnya sebagai bagian dari negara tetangga, apa yang perlu diperhatikan adalah "cara" kasus ini dibicarakan. Mengkritik pemerintah yang dianggap lambat merespon kasus Rohingya dengan alasan karena mereka Islam adalah pernyataan yang membinasakan.
Menghadapi cara bicara seperti ini, justru kita harus mengembalikan semuanya kepada manusia. Mengingat bahwa apapun yang terjadi dengan Rohingya, mereka tetaplah harus dibela hanya karena mereka adalah manusia.
Pandangan ini akan membuat kita menjadi tidak gampang terprovokasi oleh politisi yang menggunakan konflik di negara lain untuk menguat-nguatkan perpecahan dengan mengesankan adanya keengganan membantu Rohingya karena mereka adalah bagian dari Islam. Seakan-akan, ada kekuatan yang berseberangan dengan Islam. "Sekarang pun kasus kemanusiaan di Myanmar juga 'digoreng' dengan membenturkan agama Islam dan Buddha. Upaya-upaya ini harus diwaspadi karena isu SARA sangat rentan di masyarakat kita," ucap Pengamat Intelijen, Marsda Purn Prayitno Ramelan.
Memang sulit untuk menghindar dari orang yang ingin memanfaatkan situasi konflik untuk membangkitkan semacam kebencian politik dengan sentimen agama yang pernah melanda Indonesia. Apalagi jika yang bicara adalah orang yang punya kualifikasi sebagai "sumber berita." Namun, dengan pengalaman kita sebagai negara yang berbhinneka dengan sejarah konflik yang cukup kelam, seharusnya kita bisa berdiri menghadapi usaha membentur-benturkan agama dalam konteks yang kebetulan sedang menjadi isu dunia.
Mempercayai bahwa agama adalah pokok persoalan, tak lain hanya akan memberi pukulan kepada diri kita sendiri ketimbang kepada masyarakat Rohingya. Justru kita terlibat dalam adu domba "di atas penderitaan masyarakat lain." Tentu saja kita harus peduli dengan kasus Rohingya. Namun, dengan niat yang tulus dan memahami persoalan etnis ini dengan sebaik-baiknya. Menggali informasi dari berbagai macam perspektif adalah salah satu cara terbaik. Agama mungkin saja menjadi soal dalam kasus Rohingya. Namun dosa besar kita adalah ketika kita meributkannya di dalam negeri hanya untuk kepentingan politik kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H