Lihat ke Halaman Asli

Albert Purba

Ad Majorem Dei Gloriam

Masih Mampukah Rahim Demokrasi Kita Melahirkan Negarawan?

Diperbarui: 17 Februari 2021   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita kerap disuguhi berita yang membuat diri mengelus dada menyaksikan akrobat politik para politisi yang lebih licin dari belut. Belum lagi berita OTT yang dilakukan KPK terhadap para kepala daerah yang notabene merupakan hasil demokrasi dan pemilihan langsung oleh rakyat, dan kasus terakhir dua menteri juga ditangkap.

Semua itu rasanya belum cukup bila tidak menyinggung masifnya berita bohong (hoax) serta kampanye hitam dalam proses demokrasi kita yang dilakukan oleh kelompok politik tertentu terhadap lawan politiknya. Kesantunan dan rasionalitas jauh dari adab politik sehingga politik tampak dangkal (banal) dan artifisial.

Judul di atas selalu mengusik benak penulis sebab fakta lapangan memperlihatkan kenyataan yang sebaliknya. Politik yang minus negarawan adalah bukti bahwa dunia politik kita sedang memainkan dosa sosial yang oleh tokoh kemerdekaan India, Mahatma Gandhi disebut sebagai politik tanpa prinsip. Politik seperti ini hanya berbicara tentang bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan, bukan bagaimana bernegara.

Membaca kembali sejarah, ternyata bangsa ini pernah memiliki seorang negarawan yang tidak sekadar aktif berpolitik namun juga melakoni hidupnya sebagai hati nurani bangsa. Setidaknya itulah yang disampaikan dalam buku karya Dr.Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa.

Buku yang tampak sebagai sebuah biografi politik ini memaparkan dengan baik dan jelas siapa dan apa yang diperbuat Bung Hatta bagi negeri yang diperjuangkannya dengan segenap jiwa raganya. Walaupun tidak sampai seekstrim Gandhi, Bung Hatta dapat dikatakan sebagai negarawan yang melakoni asketisme, yaitu sikap hidup yang tidak mengejar kenikmatan (hedonisme).

Dalam menuntut ilmu pengetahuan Bung Hatta memang tidak pernah terpuaskan. Deliar Noer dengan bijak menampilkan Hatta yang dapat disebut sebagai negarawan pemikir (the thingking-statesman). Buku menjadi sahabat yang paling dekat bagi beliau bahkan yang mendampinginya menuju pembuangan ke Boven Digoel maupun ke Banda Neira. 

Kecintaannya akan buku ini dituliskan juga oleh Bung Hatta dalam kumpulan memoarnya yang dimuat ulang dalam tulisan Mengenang Sjahrir yang dieditori oleh Rosihan Anwar. Hatta bahkan menunda perpindahannya dari Digoel ke Banda selama lebih kurang satu bulan supaya dapat mengumpulkan buku-buku yang sedang dipinjam teman-temannya, sesama orang buangan di belantara Digoel itu.

Pada tulisan yang sama, Hatta juga menceritakan bagaimana ia menasehati teman-teman seperjuangan yang sedang terbuang untuk tetap menjaga kesehatan badan maupun pikiran.

Ketika kekuatan Kolonial menekannya dengan pembuangan ke sudut peradaban, beliau dengan sadar merawat daya kritis dan kewarasan pikiran dengan buku dan bacaan.

Bahkan, dari dalam pembuangan beliau masih bisa menghasilkan tulisan untuk dimuat di koran. Bukti bahwa pikiran kritisnya tidak luntur. Dia setia pada perjuangan non koperatif  meskipun pejabat kolonial menawarkan tunjangan dalam bentuk uang sebesar f7,50 sebulan (Rosihan Anwar, 2010:26).

Kesadarannya inilah yang membuat dia tidak mau disogok oleh pemerintah untuk menurunkan derajat perjuangannya. Kalau dia mau kenapa dia harus bersusah-susah dibuang ke Digoel sedangkan Departemen Ekonomi di Jakarta menawarinya gaji f500 sebulan (Deliar Noer, 2015:50).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline