Lihat ke Halaman Asli

Bullying: Mengapa Korban Diam?

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1386402421412216951

Saya pernah memiliki teman bekas korban bullying. Teman saya itu sampai pindah sekolah dan pernah melakukan percobaan bunuh diri serta mengalami trauma berat hingga dia menduduki bangku kuliah. Sekedar mengingatkan, kejahatan bullying menurut saya bukan sesuatu yang patut dianggap remeh. Kejahatan ini akan membuat anda merasa tidak berharga, kesepian, dan pada akhirnya mengerak dalam bentuk ketakutan untuk berinteraksi dengan orang lain. Saya sendiri memang belum pernah merasakannya. Tetapi dalam skala kecil, saya pernah bertengkar dengan teman-teman sekelompok saya dan selama seminggu kami saling mengabaikan (tepatnya saya diabaikan). Rasanya seprti alien. Apalagi bila hal itu dilakukan oleh lebih banyak orang dan tanpa seorang pun yang mau dekat dengan kita.

Rasa Malu Korban?

Teman saya sebenarnya hanya sedikit bercerita mengenai hal ini. Saya mendapatkan kisah bullying ini dari teman saya yang lain dan juga dari ibunya. Bahkan ibunya baru mengetahui kisah anaknya setelah teman saya itu mencoba bunuh diri.

Saya pernah mengungkit-ungkit mengenai bullying pada teman saya tersebut, tetapi saya tidak mendapatkan respon yang saya harapkan. Apakah kami tidak cukup dekat? Apakah saya lancang?

Mengejutkannya, ketika saya bertemu dengan salah seorang pembully-nya, dengan enteng dia bercerita pada saya apa yang telah dilakukannya pada teman saya itu. Mengapa dia melakukan itu? Dia menjawab bahwa teman saya itu aneh, suka sendirian dan bengong. Cuma itu?

Saya bertanya kepadanya apa yang sesungguhnya terjadi. Dia menampilkan kesan bahwa apa yang dilakukannya hanya masalah sepele. Cuma “ceng-cengan” biasa, katanya. Benarkah? Lantas kenapa teman saya sampai coba-coba mati? Tidakkah dia tahu?

Dilupakan

“Siapa namanya?” tanyanya pada saya.

Rupanya, si tukang bully bahkan melupakan nama orang yang pernah dibullynya. Pada saat itu, dia bertemu dengan saya secara kebetulan. Dia kemudian bercerita mengenai jadwalnya untuk reuni SMA minggu depan. Saya bertanya, apakah dia akan berangkat bersama teman saya?

“Siapa namanya?” tanyanya pada saya. “Nanti kamu bilang saja kalau mau datang di tempat XXX tanggal XXX.”

Trauma Teman Saya

Teman saya akhirnya bercerita ketika kami (saya dan temannya yang lain) memergokinya berada di kantin alih-alih menghadiri reuni sekolahnya. Kami tidak bertanya apapun, kami sekedar menanyakan mengapa dia tidak ikut reunian. Disitulah teman saya berkata bahwa masa SMA-nya tidak bahagia. Pada akhir pembicaraan, dia mengatakan bahwa dia tidak apa-apa. Bahwa itu masalah sepele. Benarkah?

Saya tidak berani untuk menanyakan apapun. Saya tidak bisa membuatnya menjadi ladang eksploitasi rasa penasaran saya. Kedua, saya takut membuatnya menangis. Bila itu terjadi, saya hanya akan memperburuk keadaaan karena saya tidak memiliki keahlian yang baik dalam mengatasinya.

Semoga Kamu Selalu Bahagia

Mungkin suatu saat teman saya akan berubah. Mungkin suatu saat dia akan sukses dan menertawakan pembully yang bahkan lupa pada namanya. Mungkin suatu saat dia bisa melupakan kejadian itu. Mengiranya terjadi pada sebuah film.

Apapun itu, semoga kedepannya kamu selalu bahagia.

_____________________________________________________________________________

pic: http://www.sott.net/image/image/s6/125012/full/bullies_kids.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline