Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali menjadi sorotan, bahkan menjadi wacana hangat para kompasianer. Pendapat publikpun terbelah, mereka yang kontra cenderung berpendapat dengan nada "menyudutkan" bahkan mengeneralisir semua PNS itu malas,tak kreatif dan hanya menggerogoti keuangan negara. Sedangakan yang pro mencoba memberi pandangan dari presfektif yang lebih "humanis" dan menyatakan tidak semua PNS jelek karena masih banyak aparatur negara yang berdedikasi, loyal dan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Lalu, benarkah PNS tak efektif?. Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya perlu kajian yang komferhensif. Kita tidak bisa serta merta menjatuhkan vonis bahwa PNS itu hanya jadi beban negara hanya karena ada segelintir PNS yang malas, korupsi, tidak kreatif dan bersikap ingin dilayani publik bukan sebaliknya melakukan tugas-tugas pelayanan. Memang harus kita akui stigma buruk tentang PNS cenderung telah menjadi opini bahkan banyak yang menyebutnya sudah "bukan rahasia" lagi. Bahkan ada juga yang berpikiran ekstrim, untuk mengatasi birokrasi yang dicap gemuk, lamban dan berbelit pemerintah harus melakukan langkah memotong satu generasi.
Sebagian persepsi masyarakat nampaknya akan menemukan kebenaran seiring rencana pemerintah untuk melakukan pensiun dini dan moratorium PNS. Alasan anggaran negara yang hanya habis untuk menggaji PNS menjadi faktor pemicunya sehingga menyedot anggaran pembangunan. Kita hanya bisa menunggu, langkah-langkah strategis pemerintah dalam mengatasi hal ini, jangan hanya jadi wacana karena hanya akan menimbulkan keresahan dikalangan para PNS
Faktor-Faktor Yang Membuat PNS Tak Efektif
Ada beberapa hal yang membuat kerja para PNS tak efektif, antara lain:
1. Kesenjangan Penghasilan
Tidak bisa dipungkiri gaji PNS di Indonesia belum memadai bahkan cenderung timpang antara staf dan para pejabat PNS nya. Apalagi ketimpangan ini cenderung menjadi persoalan kompleks seiring otonomi daerah, semakin jomplang saja penghasilan itu. Republika bahkan hari ini merilis besarnya tunjangan para pejabat PNS di beberapa daerah, bahkan DKI Jakarta dan Banten membayar tunjangan pejabat PNS setingkat eselon satu sebesar Rp. 50 juta/bulan tentu saja ini diluar gaji pokok PNS yang juga mereka dapatkan. Kini yang berpenghasilan besar hanya di pusat, provinsi atau daerah-daerah kaya di luar itu PNS harus pasrah menerima gaji saja. Kesenjangan ini bisa jadi pemicu banyak PNS golongan menengah ke bawah yang kelihatan ogah-ogahan dalam bekerja karena faktor ekonomi yang tak memadai, tapi tentu saja ini bukan pembenaran untuk tidak melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab
2. Budaya Kerja
PNS cenderung melakukan aktifitasnya sebagai rutinitas,mereka jarang dan mungkin tidak terbiasa dengan target-target yang harus diselesaikan. Tidak adanya sistem reward, funishment dan reinfocment yang jelas menjadi semua PNS diperlakukan sama saja. Berprestasi atau tidak setiap tanggal 1 akan memperoleh gaji yang sama, karena ini budaya kerja menjadi statis terutama untuk para PNS di daerah. Sayangnya pemerintah cenderung lebih memperhatikan PNS di pusat/provinsi sudah tunjangannya besar, mereka juga masih dapat renumerasi dan uang lauk pauk. PNS di daerah lagi-lagi harus gigit jari.
3. Sistem Penugasan dan Pengawasan
PNS bekerja berdasarkan perintah dan sistem yang sudah baku, sayangnya seringkali penugasan yang diberikan tak memberikan tantangan sehingga cukup dengan hadir saja di kantor mereka dianggap telah melaksanakan tugas. Di sisi lain faktor pengawasaan tidak berjalan efektif sehingga mungkin PNS nakal merasa merdeka dengan kondisi yang ada.