Setengah mati pengelolaan kehutanan selama ini banyak mengundang stigma dari banyak pihak bahwa pengelolaan hutan diartikan sebagai cost center bagi negara. Pergulatan yang cukup babak belur ketika stock cadangan hutan harus terus dipertahankan dengan berbagai instrumen untuk mencegah melonjaknya angka deforestasi hutan dan kerap dinilai sebagai cost center. Kerapkali pembiayaan kehutanan baru dilirik setelah terjadinya berbagai bencana alam. Merehabilitasi hutan merupakan tantangan besar dibanding dengan memberikan ijin usaha dan menebang hutan. Pada tahun 2022 berdasarkan peta lahan kritis nasional, yang disahkan melalui SK Dirjen PDASRH Nomor: SK.49/PDASRH/PPPDAS/DAS.0/12/2022 tanggal 27 Desember 2022 diperoleh informasi bahwa secara nasional terdapat sekitar 12.744.925 Ha berada dalam kondisi kritis (baik didalam kawasan maupun diluar kawasan). Sementara capaian lahan dalam DAS yang dipulihkan selama periode tahun 2020-2022 baik yang bersumber dari dana APBN maupun pihak-pihak lain yang bersumber dari dana non APBN, secara keseluruhan adalah seluas 259.106 Ha. Berdasarkan data luasan lahan kritis tersebut, baru sekitar 2,033% lahan kritis yang terpulihkan. Tugas amanah ini tentunya akan berat apabila hanya dipikul oleh Pemerintah menggunakan dana APBN/APBD.
Menilik Laporan Keuangan Kementerian LHK tahun 2022, pendapatan kehutanan pada 31 Desember 2022 sebesar Rp5.804.080.517.216,00 dengan rincian Pendapatan Dana Reboisasi (DR) sebesar Rp 1.679.625.452.164 ; Pendapatan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar Rp 1.144.511.903.363 ; Pendapatan Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH) sebesar Rp 44.916.715.550 ; Pendapatan Penggunaan Kawasan Hutan (PKH) sebesar 2.935.026.446.139 . Dari rincian tersebut, penerimaan terbesar adalah dari pendapatan penggunaan kawasan hutan. Pendapatan Penggunaan Kawasan Hutan (PKH) untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan adalah pendapatan yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang luas kawasan hutannya di atas 30 persen (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau. Pendapatan ini dikelola oleh eselon I Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Pendapatan Dana Reboisasi (DR) adalah dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu. Pendapatan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Pendapatan Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IIUPHH) adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan, Pendapatan ini dikelola oleh eselon I Sekretariat Jenderal. Dari sisi pembiayaan dari Negara, sektor kehutanan ditopang melalui anggaran negara (APBN/APBD), Dana DBH DR, dan Dana DAK Kehutanan.
Pemerintah Indonesia juga pernah mengeluarkan The Climate Change Roadmap yang mengcover time frame selama 20 tahun sejak 2010 hingga 2029. Roadmap ini akan terintegrasi dengan dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah pemerintah yang akan diturunkan sebagai renstra K/L maupun renja K/L. Dokumen ICCR juga dalam konsepnya terintegrasi dengan regional risk asessment. Berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 2017 Bappenas memiliki peran sebagai sebagai Sistem Integrator dalam mengintegrasikan program-program pembangunan yang menjadi prioritas Presiden; melakukan penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional tidak lagi dilaksanakan dengan pendekatan money follow function namun dilakukan dengan pendekatan penganggaran berbasis program (money follow program) melalui penganggaran berbasis kinerja yang dilaksanakan melalui kerangka pendanaan, kerangka regulasi, dan kerangka pelayanan umum dan investasi, selain itu juga menekan ada pendekatan Tematik, Holistik, Integratif dan Spasial (THIS) dalam proses sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional.
Dengan adanya ancaman pemanasan global, Pemerintah Indonesiapun dituntut untuk berpartisipasi dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Tahun 2016 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) dan setahun sebelumnya lahir pula kesepakatan global dan nasional yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui Sustainable Development Goals yang mencakup 17 tujuan dan sasaran global pada tahun 2030 yang ditetapkan pada Sidang Umum PBB pada September 2015. Adanya dua kesepakatan ini setidaknya menjadi angin segar bagi Pemerintah Indonesia atas dukungan dari para pihak dalam pembiayaan pembangunan Kehutanan, namun demikian sejalan dengan tata kelola yang ada perlu adanya sinergitas dalam membangun kerangka pembiayaan ini yang terkelola secara rapi. Tahun 2019, di Kompleks Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, KLHK, serta Kementerian Keuangan, secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Lahirnya BPDLH diharapkan akan menjadi salah satu mekanisme pembiayaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak. BPDLH dibentuk dengan harapan dapat memobilisasi sumber-sumber dana dalam negeri dan luar negeri yang terkait dengan lingkungan hidup dapat berjalan lebih optimal. Pengelolaan dana tersebut akan mencakup bidang-bidang yang terkait lingkungan hidup, diantaranya kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, serta bidang lainnya yang terkait langsung maupun tidak langsung.
Sebelum lahirnya BPDLH, di Kehutanan sendiri melalui P.8/Menhut-II/2007 mengatur tentang Standar Pelayanan
Minimum untuk Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan. Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (Pusat P2H) merupakan Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan keuangan, penyaluran dan pengembalian dana bergulir untuk pembiayaan pembangunan hutan tanaman. BLU P2H menganut sistem fiskal—on budget off treasury. Artinya, sumber dana berasal dari penerimaan negara yang sah, yakni PNBP sedangkan penggunaannya tidak melalui mekanisme pembahasan anggaran antara eksekutif dan legislatif (off treasury). Sejak BPDLH dibentuk, peran BLU P2H ini ditarik dari Kementerian LHK.
Praktik efektif untuk mengubah pandangan cost center menjadi profit center akan sangat berat apabila dibebankan pada sektor Kehutanan. Terlebih di era tantangan global yang banyak membebankan instrumen pengelolaan hutan yang lestari. Konsep ini akan lebih tepat apabila di terapkan pada sektor manufactoring. Sedangkan mengubah pola pandang cost center menjadi service center akan lebih tepat melekat pada pemerintah. Dalam hal mengelola kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. KLHK telah mengeluarkan Keputusan Menteri tentang Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) atau peta moratorium. Dari hasil pemantauan Kementerian LHK tahun 2022, Angka deforestasi Indonesia tahun 2021-2022 sebesar 104 ribu ha berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 119,4 ribu ha dikurangi reforestasi sebesar 15,4 ribu ha. Dari hasil pemantauan tersebut masih terlihat bahwa upaya memulihkan hutan jauh lebih sulit dibandingkan upaya menghentikan penebangan hutan, namun demikian hal ini ibarat seperti mata uang yang memiliki dua sisi.
Dalam era bisnis modern yang makin berkembang, makin banyak perusahaan yang mengadopsi pendekatan berkelanjutan untuk memastikan bahwa operasional mereka tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga memberikan dampak positif pada lingkungan, masyarakat. Salah satu konsep yang makin mendapat perhatian adalah ESG, singkatan dari Environmental (Lingkungan), Social (Sosial), dan Governance (Tata Kelola). Pengintegrasian Environmental, Social, dan Governance (ESG) dalam bisnis modern membawa sejumlah manfaat yang signifikan yakni peningkatan reputasi dan citra perusahaan, akses modal dan investasi yang berkelanjutan, pengurangan risiko dan biaya operasional yang merugikan perusahaan, meningkatkan kinerja keuangan dan pertumbuhan jangka panjang.
Selain ESG, ada juga terobosan baru yang ditawarkan oleh beberapa praktisi kehutanan yakni Transfer Fiskal Berbasis Ekologis melalui Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE) dan Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE). Melalui mekanisme TAPE TAKE, setiap kabupaten atau desa akan memiliki peluang mendapatkan alokasi bantuan keuangan provinsi atau Alokasi Dana Desa (ADD) kabupaten yang lebih besar dibandingkan kabupaten atau desa lainnya berdasarkan indikator kinerja ekologis yang telah disepakati dalam peraturan gubernur atau peraturan bupati yang menjadi dasar pengalokasian. Hal ini jelas menuntut peningkatan kinerja yang menekankan pada service center dalam pengalolasian anggaran berbasis ekologi. Konsep EFT ini merupakan pemberian insentif dari pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah dibawahnya melalui penilaian kinerja berdasarkan kinerja terkait Perubahan Iklim. Dalam menyusun konsep insentif berbasis Ekologis maka perlu dilakukan kajian untuk merumuskan indikator kinerja tatakelola lingkungan berdasarkan scoring sebagai dasar pemberian insentif, baik untuk sektor lingkungan hidup maupun sektor terkait lainnya (energi, perhubungan, pertanian, kehutanan dll).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H