Lihat ke Halaman Asli

Korban 65 Menggugat Ketidakadilan Negara

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan" (Pasal 1, Universal Declaration Of Human Rights)

Kekuasaan Orde Baru, berdiri kokoh selama 32 tahun di atas darah dan air mata para korban-korban pembantaian tragedi 30 September 1965. Negara melalui aparatus pemaksanya (Coercive Institution) ketika itu, telah menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) untuk menghilangkan nyawa jutaan manusia yang tidak pernah terbukti secara hukum, bahkan hingga hari ini. Mereka yang dituding berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), para keluarga-keluarganya, bahkan mereka yang dianggap memiliki keterkaitan dengan aktivitas PKI di zaman itu, telah dibantai secara tidak manusiawi atas nama stabilitas keamanan dan ketertiban negara. Sarwo Edi, Komandan RPKAD ketika itu, bahkan dengan bangganya menyebut telah menumpas sekitar 1 juta jiwa orang, baik anggota maupun pengikut serta simpatisan PKI . Ini jelas merupakan tragedi “Genocide” terbesar yang telah mencengangkan dunia. Tragedi pembantaian suatu golongan tertentu ini, disandingkan atau bahkan jauh lebih menghebohkan dibandingkan dengan pembantaian ras yahudi yang terjadi di zaman Adolf Hitler. Para korban pembantaian ini, secara social-politik, telah mengalami traumatik yang sangat sulit disembuhkan, mengingat penderitaan dan penyiksaan yang mereka alami selama berpuluh-puluh tahun. Bukan hanya penyiksaan secara fisik, akan tetapi juga secara psikis (kejiwaan), hingga penyiksaan dalam ruang sosial masyarakat yang kian menyempit akibat cap pengacau, anti agama, amoral, dan lain sebagainya. Hal ini secara sistematis membangun stigma ekstrem di tengah masyarakat, yang menganalogikan mereka (Baca : Korban tragedi ’65), sebagai penyakit dan sampah masyarakat. Hak Asasi Manusia ketika itu, bukanlah sesuatu yang layak diperbincangkan, bahkan cenderung dibutakan oleh tebaran isu-isu yang tanpa proses penyaringan nalar manusia lagi. Awal Malapetaka

Sebuah peristiwa tentu berawal dari bangunan sejarahnya masing-masing. Begitu pula dengan tragedi pembantaiaan 46 tahun yang lalu. Bahkan hingga hari inipun, peristiwa tersebut terus menuai kontroversi mengenai, apakah mereka yang dituduh komunis ini, benar telah melakukan tindakan biadab yang membuat mereka patut dicaci maki, dicemooh bahkan layak dibunuh meski tanpa adanya mekanisme pembuktian didepan hukum? Ataukah peristiwa tersebut justru merupakan sebuah skenario yang dengan sengaja diciptakan oleh kepentingan politik tertentu untuk menyingkirkan suatu golongan yang membahayakan posisi politiknya. Ibarat zaman jahiliah, Indonesia ketika itu betul-betul telah mengalami sebuah situasi yang sangat jauh dari prinsip-prinsip penghormatan terhadap kemanusiaan.

Secara tersirat, sejarah memang menjadi suatu tafsiran yang lahir dari siapa yang berkuasa. Baik buruknya sejarah, menjadi otoritas penguasa dalam mereproduksinya ditengah masyarakat. Namun, sebagai jiwa yang sadar dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran nalar, maka sudah sepatutnya kita harus mengenali sejarah bukan dari siapa yang mengucapkannya, namun dari apa yang kita yakini berjalan dalam koridor universalitas berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan (principle of humanity). Berbagai macam versi megenai peristiwa G30S ini, masih mengemuka dalam masyarakat. Namun versi pemerintah Orde Baru menjadi mainstream kebenaran yang tetap mencekcoki pemikiran masyarakat kita. Khususnya generasi muda. Betapa tidak, sedari dulu, setiap tanggal 30 september, kita disajikan cerita bohong melalui film yang sengaja dibuat oleh Orde Baru sebagai alat untuk terus-menerus membodohi rakyat.

Jika kita mendalami situasi politik di zaman itu, tentu kita tidaklah terlalu sulit untuk melihat kebenaran sejarah. PKI yang merupakan salah kekuatan politik terbesar (pemenang ketiga dalam Pemilu tahun 1955 dibawah Masyumi dan PNI), menjadi benalu bagi kaum reaksioner-kanan yang memang merasa terancam dengan keberadaan Partai Komunis terbesar di asia tersebut. Salah satu kekuatan politik yang merasa dirugikan adalah faksi militer yang berada dekat dengan kekuasaan. Terlebih lagi secara internal, militer dalam situasi yang mengalami konflik yang berakibat terjadinya faksionalisasi. Sebenarnya telah lama terjadi pertentangan antara faksi-faksi di kalangan internal militer, terutama ditubuh Angkatan Darat, yaitu sejak rasionalisasi dan rekonstruksi (Re-Ra) Angkatan Perang dalam pemerintahan Hatta. Pertentangan itu terutama antara profesionalisme model Barat yang dibumbui oleh pembelajaran politik sebagai bagian dari keikutsertaannya dalam kekuasaan negara, dengan semangat revolusioner warisan revolusi 1945 yang masih kental di kalangan perwira menengah AD. Pada tahun 1965 AD telah terpecah dalam dua kubu yaitu kubunya Jenderal Achmad Yani yang loyal kepada Presiden Soekarno dan kubunya Jenderal A.H. Nasution-Soeharto yang tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno tentang persatuan nasional terutama tentang Nasakom dan Pengganyangan Malaysia.

Dengan lihainya Soeharto bertindak seolah-olah loyal terhadap kepemimpinan Nasution maupun Yani dan sekaligus pendukung Soekarno, namun dilain pihak Soeharto merangkul kelompok perwira yang ingin menyelamatkan Bung Karno, dan kemudian kelompok tersebut diorganisasi dan dimanfaatkan untuk menghancurkan kelompok Yani maupun Nasution, menghancurkan PKI yang kemudian merebut kekuasaan. Hal tetrsebut terbukti dengan scenario penghacuran gerakan komunis dengan meledaknya peristiwa Gestapu.

Distorsi Sejarah

Jika becermin dari situasi Indonesia selama 32 tahun Orde Baru Berkuasa, maka tepatlah ujar-ujar (maxim) bahwa, “Sejarah tergantung dari siapa yang berkuasa. Baik buruknya tafsir sejarah, semuanya disetir sedemikian rupa menurut kehendal serta kepentingan penguasa”. Salah satu inti sejarah yang ditelikung oleh Orde Baru Soeharto adalah, personifikasi PKI yang selalu dicitrakan biadab, kejam dan tidak bermoral. Kita tentu masih teringat dengan tayangan Film dokumenter G30S yang merupakan visualisasi tragedi versi resmi Pemerintah Orde Baru, dimana wanita-wanita yang tergabung dalam Gerwani dipropagandakan sebagai pembunuh keji yang tanpa rasa ampun menyiksa para jenderal, bahkan dengan memotong kemaluannya. Padahal sesungguhnya, tidak ada penyiksaan, pencungkilan mata, maupun penyiletan kemaluan jenderal oleh Gerwani maupun anggota Pemuda Rakyat.

Bantahan ini sesuai dengan visum et repertum dari tim dokter yang mengautopsi (bedah mayat) para jenderal yaitu tim dokter yang diketuai oleh Brigjen TNI Dr. Rubiono Kertapati dengan visum et repertum nomor 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109 (untuk tujuh korban) yang menyatakan tidak ada bekas penyiksaan dalam tubuh korban seperti penyiksaan, pencungkilan mata, dan sebagainya. Hal itu juga dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidato pada HUT LKBN Antara tanggal 12 Desember 1965 dan pembukaan Konferensi Gubernur Seluruh Indonesia tanggal 13 Desember 1965 . Kebenaran visum ini akhirnya semakin diamini oleh Dr. Yahya, yang juga murid salah satu tim dokter yang melakukan visum terhadap para korban 65. Dr. Yahya, pada akhir tahun 2007 telah menemukan bukti hasil visum yang menjelaskan bahwa memang tidak terjadi hal-hal yang dituduhkan oleh Pemerintahan Orde Baru Soeharto.

Kembalikan Hak-hak Dasar Korban 65

Selama 32 tahun Pemerintahan Orde Baru Soeharto, korban yang selama ini dituduh sebagai biang dan pelaku pembantaian para jenderal, tak ayal telah diperlakukan secara tidak manusiawi. Dibunuh dan ditangkap tanpa proses hokum sebagaimana mestinya, dukucilkan dan dibuang dari ruang social dengan tuduhan amoral, hak politik diremukkan, serta perlakuan lain yang pada hakekatnya merupakan bentuk pratek ketidakadilan Negara terhadap warganya sendiri. Bahkan beberapa komunitas korban 65 masih terus diawasi setiap saat dengan kewajiban wajib lapor kepada institusi keamanan Negara baik kepolisian maupun militer.

Untuk itu, Negara harus mengembalikan hak-hak dasar korban 65, sebagaimana perlakuan yang telah diberikan kepada masyarakat yang lain. Negara harus bertanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi terhadap korban 65 tanpa syarat. Dan salah satu bentuk rehabilitasi terhadap korban 65, adalah upaya pelurusan sejarah yang selama ini ditelikung oleh Orde Baru. Sejarah harus diungkap sebagaimana adanya. Fakta-fakta tagedi 65 adalah sebuah fenomena “genocide” atau pembantaian sebuah kelompok atau golongan yang dilakukan oleh rezim penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline