[caption id="attachment_54411" align="alignright" width="300" caption="Foto"][/caption] "Kalau kita lihat komentar sebagian masyarakat kita, kita harus bisa jelaskan dengan gamblang ke publik bahwa tidak tepat mengukur kinerja pemerintah lima tahun dari 100 hari, apalagi saya mendengar beberapa statemen bahwa pemerintah dinilai gagal karena 100 hari belum bisa mensejahterakan rakyatnya," kata Presiden dalam rapat kabinet di Kantor Presiden Jakarta, Kamis (Sumber : Media Indonesia). Pernyataan SBY di atas, merupakan jurus silat lidah yang cukup ampuh. Jawaban ini tentu saja terlontar ditengah kritikan tajam dari masyarakat. Siapa yang tidak mengenal SBY? Presiden RI ke-6 ini memang dikenal luas sebagai pribadi yg memilki kemampuan diplomatik mumpuni. Pidato-pidatonya cenderung dianggap sejuk ditelinga sebagian besar masyarakat yang memujinya. Namun dibalik pernyataan tersebut, tentu saja mengandung upaya membela diri (resistance by attack), terhadap program Pemerintahan SBY, yang dianggap gagal. Memang benar bahwa, 100 hari tidaklah mewakili (representative) keseluruhan masa pemerintahan selama 5 tahun. Akan tetapi, cerminan keberhasilan masa pemerintahan 5 tahun tersebut, akan tergambar dari 100 hari pertama Pemerintahan SBY-Boediono. Warisan 5 Tahun Periode Awal Kekuasaan Pemerintahan SBY boleh-boleh saja mengelak bahwa 100 Hari pertama bukanlah tolak ukur (benchmarks) yang tepat. Dalam sebuah pernyataan SBY berucap, "Saya dan Pak Boediono tidak ada yang berjanji bahwa seluruh rakyat akan sejahtera dalam 100 hari pertama. Walau pun kita terus bekerja keras untuk ukuran kinerja pemerintah dalam 100 hari". Untuk mengukur kinerja pemerintah dalam 100 hari pertama, SBY mengatakan harus dikaitkan dengan sasaran pemerintah dalam waktu 100 hari pertama: berapa banyak yang dicapai? Berapa persen yang dicapai? Dan, berapa banyak yang belum dicapai? (Sumber : Rakyat Merdeka). Kita jangan lupa, bahwa kekuasaan SBY tidaklah seumur jagung. SBY telah menjadi orang nomor wahid di negeri ini sejak 5 tahun yang lalu. Lantas berapa banyak perubahan yang dihasilkan? Berapa besar kontribusinya terhadap kesejahteraan rakyat? Seberapa serius dalam pemberantasan korupsi dan mafia hukum?. Kita jangan sekali-sekali mengunci ruang evaluasi Pemerintahan SBY hanya sebatas 100 hari, yang pada sisi lain justru menghapus rekam jejak selama 5 tahun kekuasaan pertamanya. Tentu menjadi naif, jika terkuaknya kasus hotel prodeo Ayin oleh Satgas pemberantasan mafia hukum yang dibentuk oleh SBY, dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan. Begitupun dengan kemajuan kasus percobaan penyuapan Anggodo yang kini menjadi tersangka KPK. Ini bukanlah keberhasilan, namun tidak lebih dari sebuah dagelan politik yang sedang dipertontonkan agar ekspektasi rakyat tetap mampu diraih. Terbongkarnya kasus-kasus tersebut harus kita pandang sebagai sebuah bentuk kristalisasi kegagalan akibat ketidakseriusan Pemerintahan SBY 5 tahun sebelumnya. Sekali lagi, tontonan bobroknya sistem hukum kita hari ini, adalah buah kegagalan yang diwarisi dari 5 tahun masa Pemerintahan SBY sebelumnya. Politik Pencitraan dan Kegagalan di Bidang Hukum Pemerintahan SBY memliki brand khusus terkait persoalan pemberantasan korupsi. Namun apa yang digembar-gemborkan, tidaklah sesuai dengan fakta sesungguhnya. Berbagai persoalan di bidang hukum, tidak mampu dijawab dengan baik oleh Pemerintahan SBY. Kasus 3 biji kakao Nenek Minah, kasus pencurian semangka Basar Suyanto dan Kholil hingga Anggodo dan Century Gate, menjadi fakta bahwa Pemerintahan SBY, tidaklah sebaik dengan apa yg dijanjikan semasa kampanye Pemilu sejak 5 tahun silam hingga memasuki 100 hari periode ke-2 saat ini. Pakar politik Universitas Indonesia (UI) Prof Iberamsjah menilai, 100 hari pertama di kabinet hanyalah waktu untuk "mengkhayal". Tidak ada langkah fenomenal yang diambil pemerintah untuk menyelesaikan berbagai persoalan di bidang hukum (Sumber : Okezone). Dan ungkapan ini, tentu saja mewakili realitas yang terjadi. Ini bukan statement ngawur, sebab memang tidak ada langkah kongkrit dan nyata dari Kabinet Indonesia Bersatu II. Setiap bidang kementerian hanya berani bermain angka dan presentase target keberhasilan 100 hari, namun sangat berbeda dengan fakta yang ada. Pendek kata, Rakyat tidak butuh angka dan presentase, namun Rakyat butuh tindakan kongkrit yang langsung dapat dirasakan. Upaya Pemerintahan SBY untuk membangun Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, hanyalah sebuah pemanis tindakan politik untuk membangun pencitraan ditengah masyarakat. Bukankah hal tersebut merupakan hal yang percuma dan mubazir mengingat perangkat sistem hukum kita yang lebih dari cukup?. Mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga KPK. Memang benar bahwa Satgas yang dibentuk ini, berhasil membongkar borok hotel prodeo para tahanan kelas kakap. Artalyta Suryani alias ayin menjadi korban politik pencitraan ini. Pemberitaan yang dibesar-besarkan, seolah menjadi keberhasilan dari tim Satgas ini. Namun bukankah upaya membongkat friksi tahanan dengan fasiltas layaknya hotel ini, sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah sejak awal?. Ada beberapa hal yang patut kita pertanyakan dalam kasus ini. Petama, sejak 5 tahun kekuasaan SBY plus menjelang 100 hari, dan disaat kritikan tajam terhadap pemerintahannya, mengapa hal tersebut baru dilakukan?. Kedua, kita pasti yakin, meski tidak menyaksikan secara langsung, bahwa Ayin bukanlah satu-satunya tahanan yang mendapat perlakuan ibarat seorang raja. Sebab begitu banyak tahanan kelas kakap, perampok uang rakyat yang justru tidak menjadi incaran Satgas mafia hukum ini. Lantas mengapa bukan Aulia Pohan, yang juga besang SBY, yang di sidak oleh Satgas?. Ini jelas merupakan upaya pencitraan Pemerintahan SBY dengan mencari sensasi belaka. Bisa jadi Ayin menjadi target, dikarenakan terdakwa kasus penyuapan Jaksa Urip tersebut memang cenderung nyentrik dan sensasional, sehingga hampir dipastikan begitu laris menjadi konsumsi masyarakat luas. Pada saat yang hampir bersamaan, setelah sekian lama, KPK akhirnya meningkatkan status Anggodo dari saksi menjadi tersangka. Ini tentu akan menjadi salah satu klaim keberhasilan dari Pemerintahan SBY. Ditahannya Anggodo, tersangka upaya penyuapan tesebut, memang memberikan keuntungan bagi Pemerintahan SBY menjelang 100 hari Pertama Periode ke-2 kekuasaannya. Namun sekali lagi yang perlu kita pahami bahwa, proses penahanan Anggodo-pun berlangsung dengan melalui proses berbelit-belit dan panjang. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana keengganan SBY dalam merespon kasus kriminalisasi Bibit-Chandra. Meskipun akhirnya SBY memutuskan untuk membentuk Tim Pencari Fakta atau Tim 8, namun upaya ini dipandang tidak lebih dari sebuah upaya diskresi Pemerintahan SBY untuk menyelematkan muka dihadapan Rakyat Indonesia yang terlanjur memberi label Pemerintahan SBY, sebagai Pemerintahan yang tidak punya sikap. Inilah bentuk politik pencitraan rezim yang harus kita waspadai. Kepuraan-puraan ini merupakan bahaya dan ilusi bagi Rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H