Lihat ke Halaman Asli

Mereka Memanggilku 'Jawiyah'

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13001008371308519002

[caption id="attachment_96062" align="aligncenter" width="640" caption="Putri di sekolah suka dipanggil Jawiyah"][/caption]

Putri adalah salah seorang dari sekian ribu anak TKI di Saudi Arabia yang termasuk beruntung. Dia berhasil diterima sebagai siswa Madrasah Ibtidaiyah Saudi yang bebas dari iuran apapun. Tidak semua anak-anak 'ajnabi' (orang asing) bisa diterima disana, karena persyaratan administrasi yang harus dipenuhi sangat ketat. Mulai dari dokumen orang tuanya, dokumen dirinya, riwayat kesehatannya sampai kelengkapan imunisasinya. Bahkan kalau usianya pada saat mendaftar melebihi yang disyaratkan, harus ada rekomendasi dari Kanwil Pendidikan setempat. Hal ini sempat dialami Putri saat mendaftar, dokumen keimigrasian orangtuanya dan dirinya tidak ada masalah. Riwayat imunisasi (KMS=Kartu Menuju Sehat) lengkap dan bisa diterima sekalipun berbahasa Indonesia. Kemampuan Bahasa Arab Putri sempat jadi kendala karena saat mendaftar Putri baru tiga hari berada di Saudi dan praktis dia sama sekali tidak bisa berbahasa Arab. Ketika di uji bahasa Arabnya, Putri hanya diam membisu. Dia cuma bisa menyebutkan angka 1-10 dan nama-nama hari, karena itu yang baru sempat Putri pelajari di Madrasah Diniyah di Indonesia. Panitia Penerimaan Siswa Baru menolak Putri. Tapi atas permohonan orangtuanya, Putri diberi kesempatan seminggu untuk di uji lagi bahasa Arabnya. Selama seminggu Putri dipersiapkan dengan mengikuti bimbingan bahasa Arab kepada salah seorang warga Arab keturunan Indonesia. Dan Alhamdulillah, setelah seminggu mengikuti bimbingan dan diuji kembali, Putri berhasil diterima menjadi siswa di Madrasah tersebut. Di kelasnya, hanya Putri yang berkewarganegaraan Indonesia yang oleh teman-teman sekelasnya sering dipanggil 'Jawiyah' atau orang Jawa.

Panggilan 'Jawiyah' sempat mengganggu kenyamanan belajarnya tapi berkat nasehat serta motivasi orangtuanya Putri tetap bersemangat sekolah. Tidak terasa waktu bergulir dan Putri sudah mampu beradaptasi dengan teman-temannya yang mayoritas warga Saudi dan warga asing kelahiran Saudi seperti Yaman, Mesir, Pakistan, dll.

Suatu hari Putri diminta gurunya untuk mengajari teman-teman sekelasnya membaca Al-Qur'an (karena Putri sudah tamat belajar Iqra-nya di Indonesia jadi sudah bisa membaca Al-Qur'an), dan protes keraspun meluncur dari teman-temannya.

"Ya Abla, (sebutan untuk guru perempuan) kenapa Putri yang harus mengajari kami? Putri kan Jawiyah dan kami Saudi?! Ablanya pun menjawab dengan bijak, "karena Putri pandai membaca Al-Qur'an sementara kalian belum". Akhirnya teman-temanyapun mau diajari Putri membaca Al-Qur'an. Predikat Guru Kecil disandang Putri hampir di semua mata pelajaran. Guru-gurunya pun sayang padanya. Di samping rapornya selalu memperoleh nilai mumtaz, Putri juga menerapkan bagaimana orang Indonesia beretika dan bertatakrama terutama terhadap guru-gurunya.

Putri sekarang sudah duduk di kelas 2 madrasah tersebut. Kemampuannya berceloteh dalam Bahasa Arab melebihi bahasa Ibunya. Hafalan Al-Qur'annya cukup lumayan karena setiap selepas Salat Asar dia mengikuti Tahfidz Al-Qur'an di madrasah Tahfidz dekat rumahnya. Setiap hari Kamis dan Jum'at Putri mengikuti bimbingan belajar untuk mata pelajaran kurikulum nasional di SKB karena setiap akhir semester Putri harus mengikuti Ujian Kejar Paket A yang diikutinya. Program Kejar Paket diikuti Putri agar supaya kalau sewaktu-waktu pulang ke Indonesia masih tetap bisa melanjutkan sekolah.

Cerita di atas, adalah salah satu potret bagaimana anak-anak TKI di Saudi mengisi hari-hari belajarnya. Bagaimana mereka bisa beradaftasi dan bersosialisasi layaknya di negeri sendiri. Betapa perjuangan menjadi TKI bukan hal yang ringan karena disamping berkewajiban memenuhi kontrak kerja bersama majikan juga harus tetap memenuhi kewajiban terhadap perlindungan pendidikan anak-anaknya. Keberadaannya di luar negeri hanya bersifat sementara. Tetapi waktu yang sementara itu seyogyanya dimanfaatkan sebaik-baiknya, sebab kalau bukan karena nasib, hidup di luar negeri bukanlah perkara yang mudah. Bisa menyekolahkan anak di sekolah asing dengan tanpa biaya merupakan keberkahan yang luar biasa. Menyaksikan anak-anak mampu bersosialisasi dengan anak-anak bangsa lain adalah suatu kebanggaan. Apalagi ketika anak-anak kita yang sering mereka olok-olok dengan sebutan 'Jawiyah' mampu mengalahkan mereka dengan prestasinya.

Sudah saatnya kita berkaca, kenapa ada TKI bermasalah? Kenapa ada WNI overstayers? Kenapa ada TKW teraniaya? Sejujurnya kita semua hampir tahu semua apa penyebabnya? Siapa yang sepatutnya disalahkan? Dana 128 M yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai kepulangan WNI/TKI bermasalah bukan jumlah yang kecil.

Kalau kita masuk ke Saudi sebagai apapun dengan cara yang resmi dan proporsional, tidak memalsukan data atau dokumen, tidak melakukan kebohongan dalam bentuk apapun. Maka keberadaan kita di Saudi tidak akan menuai masalah apapun malah justru sebaliknya, kita akan mendapat kemudahan dan bisa hidup normal sebagaimana warga-warga asing lainnya. Dan yang terpenting kalau kita punya anak, anak-anak kita bisa bersekolah dan berceloteh dengan bahasa Arab yang baik. Jadi, kalau resmi dan proporsional tidak perlu takut dan khawatir hidup sebagai TKI di Saudi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline