Lihat ke Halaman Asli

Penomena TKW Ilegal di Makkah

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Percaya tidak percaya TKW ilegal asal Indonesia di Makkah cukup banyak dan kebanyakan sudah terorganisir dengan rapi. Disamping yang datang dengan menggunakan visa umrah (umrahan) juga tidak sedikit yang melarikan diri dari majikannya (kaburan). TKW ilegal ini kebanyakan tinggal di satu rumah yang ditinggali secara bersama-sama “melebihi kapasitas tinggal dan sangat tidak layak” yang biasa disebut “penampungan”. Di “penampungan” ini pula tempat melakukan transaksi berbagai hal yang biasanya berbau nggak bener dan sangat mencoreng nama baik bangsa. Karena bukan Cuma orang Indonesia yang datang kesini akan tetapi warga asing pun ada yang sengaja datang kesini dengan melalui perantara. Buat orang Indonesia yang bermukim di Makkah kondisi di atas cukup membuat muka merah dan kepala tertunduk karena malu manakala ada orang asing yang membicarakan penomena “penampungan”.

Menurut informasi dari mulut ke mulut, biasanya “penampungan” ini dilindungi oleh orang yang cukup berpengaruh sehingga apabila akan dilakukan penggerebegan sudah terlebih dahulu tercium sehingga “penampungan” ini akan kosong kalau didatangi petugas. Tentu saja untuk jasa sang pelindung ini tidak gratis.

Banyaknya TKW ilegal yang sudah terorganisir di Makkah berdampak pada semakin rumitnya kondisi sosial masyarakat mukimin Indonesia di Makkah. Seperti contoh: sikap curiga aparat setempat terhadap WNI semakin tinggi, terjadinya pelecehan,  seringnya dilakukan penggerebegan oleh pihak berwajib terhadap rumah-rumah warga mukimin Indonesia, termasuk berakibat pada menurunnya gaji para TKW informal yang resmi.

Tingginya jumlah “kaburan” di Makkah disebabkan karena mudahnya melarikan diri dari majikan ketika sedang berada di Masjidil Haram. Biasanya setiap hari libur (Kamis dan Jum’at) masyarakat Saudi dari berbagai daerah datang untuk menunaikan ibadah Umrah atau sekedar Tawaf dan salat berjamaah di Masjidil Haram dengan membawa keluarga. Kemudian dengan berbagai alasan dan cara sang pembantu yang sudah berniat untuk kabur menjauh dari sang majikan untuk selanjutnya bersembunyi atau langsung mengontak teman atau kerabatnya yang sudah terlebih dahulu menghuni “penampungan”. Dan sang majikan cuma bisa gigit jari dan menggerutu karena untuk menemukan si “kaburan” ini di Masjidil Haram sama dengan mencari jarum di tumpukan jerami.

Orang Saudi sendiri saat ini lebih cenderung mempekerjakan TKW ilegal dari pada yang legal karena dianggap lebih praktis meskipun harus menggaji di atas standar (1.000 – 1.200 SAR) tapi tidak perlu mengeluarkan biaya apa-apa lagi. Lain halnya kalau ingin mempekerjakan TKW resmi, disamping harus menempuh prosedur resmi juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu harus membayar gaji dengan standar (600 – 800 SAR) ditambah tiket pesawat dan jaminan lainnya, kalau bermasalah harus berurusan dengan pihak pemerintah. Belum lagi kalau pembantunya kabur, sekalipun sudah melaporkannya ke pihak berwajib tetap saja tidak bisa menghilangkan perasaan marah karena jengkel sementara si “kaburan” tertawa sambil menyusun rencana di “penampungan”. 

Untuk bisa mendapatkan seorang pembantu ilegal tidak mudah karena harus melalui perantaraan seorang “calo” yang cukup profesional. Dia tidak akan begitu saja menanggapi ketika ada orang yang mencari pembantu ini karena dia sendiri tidak mau beresiko ditangkap atau dilaporkan kepada pihak berwajib. Setelah yakin aman baru “sang calo” akan berani membuka dan menawarkan sekaligus harganya. Kalau cocok “sang calo” akan mengantarkan pembantu ini ke rumah calon majikan atau calon majikannya yang menjemput di suatu tempat yang sudah disepakati bersama.

Pada musim haji seperti sekarang harga “pembantu ini” di Makkah ikut melambung karena rata-rata mereka kerja musiman. Ada yang bekerja di pondokan-pondokan haji ada juga yang bekerja di catering-catering dengan bayaran berkisar antara SAR 3.000 – SAR 5.000 satu musim. Kalau pun ada yang bersedia mereka mematok harga SAR 1.500 – SAR 2.000 ditambah libur pada tanggal 7 – 14 untuk menunaikan ibadah haji. Dan ini terjadi pada teman penulis, gara-gara pembantunya kabur satu bulan yang lalu, pada musim haji ini dia cukup kerepotan kalau tidak ada pembantu karena dia dan istrinya harus bekerja 12 jam sementara kedua anaknya masih kecil. Alhasil, karena relasinya cukup luas dia berhasil mendapatkan pembantu dengan perantaraan seorang “calo”. Disepakati gaji pembantu tersebut SAR 1.500 dan libur pada saat hajian (tanggal 7 – 15) dan “calo” meminta uang jasa SAR 500. Tidak cukup dengan mengeluarkan uang SAR 2.000 + 1 minggu libur, mereka juga harus siap bersabar menerima sikap dan omongan sang pembantu yang “lucu”. Seperti kata-kata: “gaji kamu emang berapa kok bisa punya pembantu?”, “saya baru tahu kalau ada orang Indonesia yang mampu punya pembantu”, “saya kira cuma orang Saudi saja yang bisa punya pembantu”, dan lain-lain yang memang terasa “lucu”. Lucu karena sikap arogan sang pembantu jelas menunjukan kalau dia memang cuma hidup di “penampungan” kalaupun keluar harus dengan cara sembunyi-sembunyi dan menyamar. Dia tidak tahu kalau orang Indonesia yang bekerja sebagai manajer hotel di Makkah ada yang di bayar dengan gaji SAR 22.000 bahkan ada yang menjabat sebagai Deputi General Manager dengan gaji di atas SAR 25.000/bulan. Kalau yang bergaji antara SAR 2.000 – SAR 7.000 itu sudah umum bagi TKI formal asal Indonesia di Makkah ini.

Kehidupan sosial masyarakat Indonesia di Makkah bertambah rumit lagi manakala para “TKW ilegal” ini menikah, baik dengan sesama “kaburan” maupun dengan yang beriqamah (resmi), bahkan ada yang menikah dengan orang asing (Saudi, Bangladesh, Pakistan, Mesir, Philipina, dll.) tentu saja menikahnya juga tidak resmi dan kebanyakan rata-rata usia perkawinannya cuma seumur jagung. Masih mending kalau tidak punya keturunan, tapi kalau punya? Bagaimana nasib anaknya? Pergaulannya? Pendidikannya? Siapa yang akan bertanggung jawab?

Pemerintah!. Kok pemerintah? Ngurusin yang resmi saja sudah kewalahan apalagi harus ngurusin yang enggak resmi. Para “kaburan” ini pura-pura enggak sadar kalau mereka sudah dan akan merepotkan banyak pihak, ya pemerintah ya masyarakat disekitarnya. Entah berapa ribu orang para TKI ilegal yang dideportase oleh pemerintah KSA per-tahunnya dan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah RI untuk itu dalam hitungan Milyar Rupiah.

Sepertinya masalah para “kaburan” ini tidak akan pernah ada habisnya kalau pengiriman tenaga kerja informal tidak dihentikan. Minimal dihentikan untuk sementara dan pemerintah hanya mengirimkan para tenaga kerja formal saja dulu. Lapangan pekerjaan di sektor formal untuk tenaga kerja asing di KSA, cukup banyak seperti, perhotelan, kontruksi, transportasi, telekomunikasi, kesehatan, dan perdagangan. Saat ini para tenaga kerja formal asal Indonesia khususnya di Makkah sudah mulai mewarnai berbagai sektor tersebut. Hal ini cukup membanggakan bagi warga mukimin Indonesia karena terbukti orang Indonesia di KSA bukan hanya bisa jadi sopir dan pembantu rumah tangga. Wallahu’alam.

Makkah, 6 November 2010

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline