Lihat ke Halaman Asli

Menembus Langit-Langit Kaca

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada penghalang seperti “langit-langit kaca” ketika perempuan menginginkan posisi yang lebih tinggi. “Langit-langit kaca” adalah sebuah ungkapan yang dipakai oleh seorang penulis bernama Auster untuk menunjukkan adanya eksistensi garis samar yang bekerja dan berfungsi pada struktur-struktur hirarkis seperti organisasi misalnya, yang secara keseluruhan sulit dilampaui oleh perempuan. Auster menjelaskan bahwa “langit-langit kaca” muncul dalam berbagai bentuk di semua waktu. Oleh karena itu, perempuan selalu berhadapan dengan hambatan dalam pengembangan karir.

Meskipun “langit-langit kaca” bukan suatu ungkapan yang muncul dari kebudayaan lokal Indonesia sehingga terasa asing di telinga, tetapi substansi masalah yang dibawanya memiliki kesamaan dengan kenyataan sosial, organisasional, dan juga kenyataan dalam kebudayaan kita sendiri. Jangankan posisi yang lebih tinggi atau pengembangan karir, untuk mendapatkan pendidikan saja sangatlah susah bagi perempuan-perempuan Indonesia pada zaman dahulu. Beruntunglah kita karena pada zaman dahulu, R. A. Kartini telah memperjuangkan hak-hak perempuan terutama dalam bidang pendidikan.

Dalam bahasa kita, perempuan juga diberi sebutan wanita. Konotasi dari kata ini adalah wani dithatha atau berani ditata sehingga perempuan jarang diposisikan sebagai sosok yang berada di atas. Perempuan sering diposisikan di bawah untuk siap menerima perintah.

Tidak gampang untuk bisa mengalami pergerakan ke atas. Selain karena persepsi bahwa sebagian besar perempuan memiliki kualitas dan karakteristik yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yang telah menjadi tradisi. Bahwa perempuan itu lemah, perasaannya lembut sehingga sulit untuk bertindak tegas, dan karakter-karakter lain yang menjadi lawan dari pria yang tegas, tegar, kokoh, cepat, dan lebih mengandalkan pikiran dari pada perasaan. Hambatan juga muncul dari lingkungan sekeliling seperti keluarga, masyarakat, dan tempat perempuan berinteraksi termasuk di lingkungan kerja mereka.

Negeri kita sendiri memang secara kultural masih berpegang pada nilai budaya patriarki yang pada kenyataannya menguntungkan kaum pria dan berujung pada pembatasan ruang gerak yang menghalangi perempuan Indonesia dalam memasuki ruang publik. Konsep patriarki teraplikasi secara alami di semua komunitas apalagi di bagian timur Indonesia sehingga masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat patriarkis.

Sejak tahun 1970 Katt Millet, seorang peneliti Jerman, mulai mengonsepkan patriarki dalam keluarga agar menjadi lebih luas. Di mana laki-laki dan perempuan digambarkan sebagai makluk yang berbeda. Selanjutnya, pengakuan terhadap konsep ini merambah masuk dalam dunia kerja bahkan politik. Laki-laki selalu menjadi yang utama. Padahal, laki-laki dan perempuan punya kemampuan yang sama. Bahkan tidak jarang lebih dari mereka.

Namun, perlahan-lahan konsep patriarki dan penghalang “langit-langit kaca” mulai tak tampak. Apalagi sejak seorang perempuan telah menjadi pemimpin negeri kita, yaitu Ibu Megawati Soekarno Putri. Perjuangan beliau dua kali lipat lebih berat dibandingkan pemimpin laki-laki karena sebelum menjadi pemimpin, beliau harus menembus rintangan yang tak tampak yaitu menembus “langit-langit kaca”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline