Sokola Rimba bersama Suku Anak Dalam (sumber:www.australiaawardsindonesia.org)
Perawakannya tinggi dan kurus. Pesonanya juga kurang! setidaknya itulah yang saya lihat ketika pertama kali berkenalan dengan beliau pada saat acara Greet & Meet Butet M ''SOKOLA RIMBA'' di aula perpustakaan Freedom Institute. Sebagai sesama orang batak dan boleh dibilang bersaudara karena marga kami sama, saya sangat bangga melihat prestasi dan pengabdian "ito" Butet (ito, dalam bahasa batak artinya panggilan saudara perempuan). Siapa menduga, semangat dan jiwa humanisme yang tumbuh di dalam dirinya telah membuktikan bahwa dia adalah sosok teladan dan inspiratif dalam mencerdaskan bangsa.
Kepeduliannya kepada sesama diawali sejak bergabung di Warung Informasi Konservasi (WARSI) yaitu sebuah lembaga swadaya yang peduli terhadap malasah konservasi hutan di Sumatera. Iapun ditempatkan di bagian pendidikan sesuai dengan tawaran di harian Kompas yang waktu itu sedang mencari fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba. Pendidikan yang bukan diperuntukkan untuk orang-orang kota dan juga bukan orang-orang desa, tetapi kepada orang-orang rimba yang masih hidup di hutan belantara! Kehidupan yang masih jauh dari transportasi, televisi, perumahan, industri, bangunan sekolah, buku, perpustakaan, guru, bangku sekolah, komputer bahkan internet. Kehidupan yang juga masih jauh dari kehidupan layak. Meskipun awalnya ada beberapa penolakan dari rekan-rekan kerja, Butet tetap melanjutkan misi mulia tersebut seperti yang saya lihat sendiri di dalam film "SOKOLA RIMBA".
Acara Greet & Meet Butet M "SOKOLA RIMBA" (sumber:www.findncast.com)
Mendengar kata hutan belantara, bagi sebagian banyak wanita adalah sesuatu yang menakutkan, tetapi berbeda dengan Butet. Meskipun banyak rintangan, dan penolakan, dia tetap berjuang habis-bahisan untuk memberikan pendidikan kepada Suku Anak Dalam di Jambi. Semangat yang membara dari wanita ini terlihat dari ucapannya seperti yang dikutip dari Kompas, 2005:39.
"Sejak desembar 1999 sampai mei 2000, aku berputar keluar masuk hutan, terus menerus ditolak dan diusir", kenang gadis berperawakan kurus yang selalu berpakaian kain seperti orang rimba"
Begitulah curahan hati wanita dengan nama lengkap, Saur Marlina Manurung telah mempertaruhkan hidupnya karena kepedulian kepada Suku Anak Dalam. Keluar masuk hutan dan terus mengalami penolakan demi meraih impian mengentaskan buta huruf anak-anak orang Rimba.
Kenapa Harus ke Hutan, Butet
Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Mereka hidup nomaden dan kehidupan mereka bergantung pada berburu dan meramu, diperkirakan jumlah populasi mereka mencapai 200.000 orang. Kehidupan mereka mulai terganggu oleh hadirnya pihak-pihak yang ingin menguasai tempat tinggal mereka. Hutan yang terus mengalami kerusakan akibat ulah oknum perusahaan yang melakukan konversi lahan hutan menjadi lahan bisnis telah mengusik kehidupan orang-orang Rimba di pedalaman Jambi.
Suku Anak Dalam (sumber:www.goriau.com)
Selain terganggunya kehidupan mereka, Butet juga merasakan betul ketidakberdayaan Orang Rimba yang tidak bisa membaca dan menulis yang sering dimamfaatkan oleh "orang terang". Istilah orang terang adalah sebutan yang diberikan Orang Rimba kepada seseorang di luar komunitas mereka. Orang terang ini sering menipu mereka. Ketidakmampuan mereka membaca dimamfaatkan Orang Terang lewat selembar surat perjanjian. Mereka sering dibohongi dengan imbalan uang yang jumlahnya sangat sedikit. Orang terang mengatakan bahwa selembar kertas itu adalah sebuah penghargaan dari kecamatan, dan mereka diminta untuk membubuhkan cap jempol. Ironisnya, karena buta huruf merekapun nurut saja. Orang Rimba tidak menyadari bahwa itu adalah penipuan.
Teman-teman pembaca, perlakuan yang tidak sepantasnya dari Orang Terang telah membakar semangat Butet. Dia selalu meyakinkan masyarakat rimba bahwa pendidikan dapat melindungi mereka dari ketertindasan dunia luar. Akhirnya keberadaan Butet pun diterima. Butet mengajari mereka membaca dan menulis. Sekolah yang dia dirikan tentu bukanlah sekolah formal seperti yang kita lihat di masyarakat. Sokola Rimba (sekolah rimba) berdiri pada tahun 2003. Sekolah yang tak berdinding yang sifatnya nomaden, kapan saja bisa berpindah. Bahkan jika ditanya dimana lokasi sekolahnya, Butet hanya mampu mengatakan titik koordinatnya saja. Koordinat 01' 05' LS - 102' 30' BT.