Betapa kehidupanku sesuai dengan yang aku idam-idamkan, serba kecukupan. Hidup di Ibu Kota, pekerjaan mapan dan bersih, pendapatan besar, rumah di beberapa kota, investasi. Begitu serba mudah, kebutuhan anak istriku terjamin, sandang pangan papan jauh diatas rata-rata, bahkan berwisata keluar negeri enam bulan sekali bukan masalah bagiku. Aku dan keluargaku tinggal di rumah induk yang cukup besar, berlantai dua bercat putih dengan pilar-pilar depan yang tinggi. Kolam renang di halaman belakang yang dikelilingi tembok tinggi. Oh, iya, garasi mobilku cukup untuk menampung lima buah mobil. Kenapa harus lima, karena sesuai dengan jumlah anggota keluargaku, plus satu mobil khusus, khusus untuk keperluan jalan-jalan, touring sekeluarga. Yah kadang ke vila kami di pegunungan, atau ke Raja Ampat, Bromo, Bali dan tempat-tempat lain.
Tetapi beberapa bulan ini ada kegelisahan bersarang di lapisan terbawah kesadaranku. Hidupku terasa kering, ada yang hilang. Sekarang melihat pengemis tua di jalanan pun tak ada rasa iba sama sekali. Penderitaan sesama seakan tak memberi kesan apa-apa padaku. Berbeda dengan dulu, aku mudah merasa iba, tak jarang meneteskan air mata melihat penjual bakso keliling lewat di depan rumah kala hujan deras. Mungkin karena pekerjaanku yang nampak bersih dipermukaan, tetapi menyimpan kekotoran didalam. Perusahaan tak jarang harus berani "menabrak" agar berjalan baik, bahkan makin maju. Dari gratifikasi kepada pihak-pihak pemegang otoritas agar urusan lancar, hitungan prosentase pengembalian untuk orang-orang penting pemberi jalan tender dan sebagainya. Belum lagi menyangkut persoalan lahan, jika diperlukan cara gelap musti tetap dilakukan. Hanya satu tujuan, laba perusahaan.
Aku jadi teringat mendiang Bapak!
Bapakku seorang petani. Petani tulen, kulitnya coklat terbakar, otot-ototnya kokoh, meski tak kekar. Hidupnya sederhana, sehingga mampu membiayai kuliahku dan menyekolahkan adikku. Lahan sawah tujuh hektar menjadi tempat bapak mengaktualisasikan hidup. Sepertinya Bapak bertani bukan sekedar karena urusan pendapatan, tetapi ada hal lain yang belum kumengerti. Aku bersekolah di sebuah SMA favorit, maklum aku termasuk anak yang pandai. Maka sudah lazim jika kemudian aku bergaul dengan anak-anak pejabat daerah, anak-anak pengusaha. Kuliahkupun di salah satu kampus favorit. Bertani menjadi bukan pilihan bagi masa depanku. Pada suatu kesempatan mengobrol dengan Bapak, di tahun ketiga kuliahku, aku berkata pada Bapak.
"Bapak aku tidak mau menjadi petani seperti Bapak. Tiap hari bergaul dengan lumpur, waktu istirahat malam kadang harus rela dikorbankan demi mendapatkan air pengairan, menyusuri pematang-pematang", kataku.
"Bahkan seringkali Bapak kesulitan mencari pupuk, subsidi sudah dikurangi, yang non-subsidi pun susah dicari. Begitu pula untuk memperoleh bahan bakar pompa air, Bapak harus mengantri sepanjang hari, karena solar dibatasi. Aku yang melihat saja kasihan sama Bapak" lanjutku.
Bapak hanya tersenyum saja mendengar celotehku.
"Lagian Bapak bekerja keras, hasilnya juga segitu-gitu saja, serba sederhana, meski tak aku pungkiri penghasilan bapak mampu menguliahkanku dan meyekolahkan adikku. Tetapi kemampuanku kuliah harus diganti dengan pola hidup kita yang terlalu sederhana.
"Terus maumu gimana Le Mbarep?. Kehidupan macam apa yang kamu inginkan?". Bapak tersenyum.
"Aku berkeinginan kerja di kota Bapak, kerja ditempat yang bersih berpenghasilan tinggi". Jawabku mantab.
"Iya le mbarep, ndak apa-apa, bapak mempersilahkan saja toh kamu musti menentukan hidupmu sendiri. Satu pesan Bapak, jangan berhenti belajar, belajar tentang hidup, apa itu hidup, bagaimana musti menjalani hidup, apa tujuan hidup". Begitulah tipe Bapak, tak pernah memaksakan kehendak, bahkan untuk anak-anaknya sendiri.