Nurani Tak Ubahnya Cermin
Nurani tak ubahnya Cermin tempat baik-buruk terpantul, terbias pada perilaku dalam keseharian. Nurani cermin guna
mematut diri namun sayang segala keburukkan diri sepertinya tak nampak.
Tertutupi wajah kerap mengenakan topeng kepalsuan dan pandai merupa Bunglon. Serta mulut nyinyir milik para pengumpat dengan polesan lipstic kepalsuan, sejatinya jauh di hati menyimpan karat-karat kebencian.
Bening Nurani seringkali tersaput debu-debu dengki, serta serpihan-serpihan iri. Kusam lagi berjelaga seiring berjalannya waktu kian menebal. Sukar untuk dikikis hingga menipis. Cermin hati yang kian tertimbun.
Kilau Nurani pancarkan jiwa-jiwa yang jauh dari hasad, seakan memudar pendar cahayanya. Cermin hati kian gelap dan semakin pekat terkubur keangkuhan diri, yang semestinya tak ada menghuni ruas jiwa.
Setitik demi setik iri lama-lama akan menutupi hati, hingga hati mati dan sukar untuk melakukan perbuatan terpuji. dan kebencian yang berkarat akan kian melekat. Menebal hingga akhirnya mewujud bebal.
Basuh cermin diri jangan biarkan nurani berjelaga hitam pekat tak ubahnya arang sewarna pekat malam, bilas cermin hati dengan tidak selalu memelihara dendam serta menumbuh suburkan bibit-bibit dengki.
Jangan biarkan nurani mati di pendam puing-puing iri, jangan biarkan terselip sehelai iri. Hanya akan kotori bening nurani, hingga tak terlihat lagi wujud nurani.
" JANGAN BIARKAN NURANI MATI"
***
Hera Veronica Sulistyanto
Jakarta | 27 November 2020 | 23:55